Sabtu, 28 Maret 2015

FF SuperJunior : Protective Love (1)



PROTECTIVE LOVE
Chapter #1
Cast : Kim Hana, Lee Donghae, Lee Hyukjae, Kim Ryeowook, Cho Kyuhyun, and Other Cast
By : Covi Kim a.k.a Evilia


Wujud nyata yang biasa kulihat perlahan pudar
Bahkan menghilang sehingga menyisakkan sesak di dadaku
Lee Donghae, ternyata aku bisa hancur karena terlalu lama tak melihatmu


Author’s POV

Banyak orang di dunia ini yang bangga dengan sebuah kata, cinta. Cinta bisa dikatakan sebagai rasa sayang dan rasa ingin melindungi seseorang yang dianggap penting. Cinta juga akan menimbulkan suatu dorongan untuk membahagiakan orang penting itu, membuatnya selalu tersenyum bahagia dan berusaha membuatnya tidak menjatuhkan air mata. Tetapi pada kenyataannya, kisah cinta tidak selamanya indah dan berjalan sesuai dengan keinginan manusia. Tuhan telah membuat skenario bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan ini, tak lepas pula dalam hal cinta. Cinta di dalam kehidupan bukan hanya cinta antara seorang pria dengan wanita yang saling berdegup saat kedua mata saling menatap, cinta juga bisa berasal dari orang tua, keluarga, dan sahabat. Dan dari semua asal cinta itu, ada berbagai cara dalam mengekspresikannya.

Cinta tidak pernah salah dalam mempersembahkan perasaan, tidak terkecuali pada seorang kriminal kejam sekalipun. Tetapi cinta bisa saja berubah menjadi tak seindah yang semestinya jika sudah dicampuri oleh hal lainnya, seperti yang dilakukan oleh seorang pria paruh baya yang sangat mencintai anaknya namun membuat anaknya merasa tak dicintai. Pria paruh baya itu adalah Tuan Kim Taejin, seorang pengusaha yang meraih kesuksesan bisnis bukan hanya di Korea, perusahaannya sudah mengepakkan sayap ke hampir seluruh wilayah Asia. Tuan Kim memiliki seorang puteri bernama Kim Hana, berusia 20 tahun dan masih duduk di tahun kedua perkuliahan.

“Cepat ke perusahaan dan pimpin rapat dewan direksi satu jam lagi! Bagaimana mungkin kau masih berada di kolam renang kampusmu Hana-ya? Kau lupa rapat ini sangat penting?”

“Arraseo appa, aku akan segera ke sana.”

Hana melenguh setelah ia memutuskan sambungam internasional dengan ayahnya yang kini sedang ada di Jepang. Gadis itu sebenarnya malas atau bahkan bisa dikatakan belum siap secara mental dalam menghadapi segala permasalahan yang ada di perusahaan, tetapi Tuan Kim mendidik Hana sangat keras sehingga membuat gadis itu terpaksa mengikuti keinginan ayahnya. Hana yang masih muda itu sudah menjabat sebagai direktur di perusahaan milik ayahnya yang ada di Korea sejak setahun yang lalu. Kesibukan adalah makanan sehari-harinya, dan sungutan-sungutan kecil dari teman-temannya yang memprotesnya karena selalu menolak diajak bersenang-senang adalah angin lalu baginya. Wajar menurutnya jika teman-temannya protes, mereka tidak tau bahwa Hana yang mereka anggap sebagai teman ternyata sudah bergelut dengan pekerjaan setelah pulang kuliah.


Hana bergerak cepat mengganti pakaian renangnya dengan setelan kemeja putih lengan pendek yang berenda pada bagian dadanya dan rok rempel selutut berwarna cokelat muda, pakaian yang hari ini ia kenakan ke kampus. Gadis itu setiap ke kampus selalu memakai pakaian semi resmi karena sepulang dari kampus harus langsung ke perusahaan, tidak mungkin ‘kan ia datang ke perusahaan dengan menggunakan pakaian yang seperti teman-temannya pakai, santai bahkan agak seksi. Meski begitu, Hana yang memiliki tubuh jangkung dan ramping itu tetap terlihat modis dengan gayanya, apalagi wajah Hana terbilang sangat cantik. Dan itu sudah cukup membuat para pria di sekitar fakultasnya berbinar hanya karena melihatnya berjalan, kecuali sepasang mata yang dimiliki oleh pria itu.


Hana’s POV

Hari ini lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri yang sejak awal menuruti keinginan ayahku untuk mengambil jurusan manajemen bisnis. Jika saja aku mengikuti kata hatiku untuk mengambil jurusan sastra, tentu ayahku tidak akan berani menempatkanku sebagai direktur di usia yang bahkan masih di bawah umur tahun lalu. Dan sekarang umurku 20 tahun, umur yang seharusnya kumanfaatkan untuk bersenang-senang dengan teman seusiaku atau jika memungkinkan, pada usia ini aku bisa sering berkencan dengan seorang pria di kampusku. Tetapi itu hanya mimpi, aku sudah terjebak bahkan terkurung dalam dunia yang memuakan ini, dunia bisnis yang di dalamnya banyak sekali terisi oleh binatang-binatang penuh keserakahan.

Rasanya sentuhan air di kolam renang tadi masih menempel di kulitku, dan itu sedikit mampu menghilangkan keteganganku sebelum rapat dewan direksi itu dimulai. Hobiku memang berenang, dan dibandingkan berenang di rumahku, aku lebih menyukai berenang di kolam renang klub kampusku. Tadinya aku juga masuk klub renang, tetapi karena kesibukanku membuatku terpaksa tidak mengikutinya, untung saja aku kenal baik dengan pelatih renang di kampus ini sehingga aku selalu dibolehkan untuk sekedar berenang di sana.

Aku menyusuri koridor ini setelah keluar dari ruangan yang terdapat kolam renang itu. Koridor ini sangat sepi karena kelas-kelas ini bukan kelas-kelas tempat kami biasa belajar. Kelas-kelas ini khusus dibangun untuk ruangan klub-klub yang ada di kampus, jadi sudah pasti sepi jika klub-klub itu tidak sedang ada kegiatan seperti sekarang ini.

Aku sudah terbiasa dengan suasana seperti ini dan berjalan dengan begitu tenang, sebelum aku melihat pria itu, pria yang sebenarnya sudah sering berpapasan denganku di koridor ini setelah aku selesai berenang. Wajahnya tegas dengan tatapan mata yang selalu terlihat tajam dan dingin. Tubuh jangkungnya terlihat begitu mendukung kepribadiannya yang menurutku sangat tertutup. Meski aku tidak begitu mengenal pria itu, Lee Donghae, aku berani bertaruh bahwa pria itu memiliki sifat tertutup dan tidak mudah akrab dengan orang lain.
Ngomong-ngomong tentang Lee Donghae, sebenarnya aku tau nama itu dari wanita-wanita yang berteriak histeris saat pria itu berlalu. Kadang aku heran, kenapa mereka tidak tau malu dan berani menjatuhkan harga diri hanya untuk meneriaki seorang pria yang belum tentu menyukai mereka. Cih, memalukan sekali!

Jarak kami semakin dekat saat tiba di tengah-tengah koridor kelas ini, dan seperti biasa pria itu tanpa rasa segan menatapku sangat tajam bahkan menurutku tatapan matanya padaku akan berlipat-lipat lebih tajam dibandingkan tatapan matanya pada objek lain. Aku tidak mengerti dengan Lee Donghae, mungkin ia tidak mengerti sopan santun mengingat tatapannya yang seakan menelanjangiku, tatapannya menjelajahi seluruh tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Ck, membuatku tidak nyaman saat berpapasan dengannya seperti ini.

Udara menghempaskan aroma tubuhnya saat aku dan pria itu saling berlalu, aroma itu menyeruak masuk ke indera penciumanku, membuatku sedikit bergidik setelah mencium aroma tubuhnya yang wangi itu. Wangi? Ya, kurasa aku memang sudah terbiasa mengenal wangi tubuhnya, tidak, lebih tepatnya wangi parfum yang ia pakai karena kami sering berpapasan di koridor ini. Aku tidak tau apa yang dilakukannya di dalam ruangan yang baru saja kutinggalkan, kupikir pria itu adalah anggota klub renang.

Aku sudah terbebas dari koridor tadi, menghirup udara khas kampus ini, mendapati banyak pasang mata menatapku terpesona, sangat berbeda dengan tatapan pria di koridor tadi. Tetapi ini bukan saatnya untukku terbuai oleh tatapan mereka, aku harus bergegas menuju perusahaan ayahku untuk memimpin rapat dewan direksi yang menyebalkan itu. Sebenarnya aku lelah, aku ingin sekali memberontak seperti gadis remaja yang kabur dari rumahnya hanya karena dimarahi oleh orang tuanya. Tetapi, kali ini aku tidak memiliki alasan untuk memberontak. Jika aku memberontak hanya karena ingin hidup bebas tanpa harus mengurus perusahaan, bukankah itu terlalu mengada-ada?

Akhirnya aku sampai di depan pintu gerbang kampus yang berada di tengah Seoul ini. Aku melirik jalanan, kanan dan kiri, aku berusaha menemukan taksi yang akan membawaku ke perusahaan dengan waktu secepat mungkin karena rapat memuakan itu akan dimulai setengah jam lagi dan waktu yang ditempuh dari kampus ini ke perusahaan biasanya akan berlangsung 15 menit jika jalanan tidak macet.

Aku melambaikan kedua tanganku ini saat kudapati taksi di seberang jalan sana dan sangat menyebalkan saat supir taksi itu tidak menyadari keberadaanku dan hanya pergi begitu saja. Kenapa taksi yang lewat hanya ada di jalan seberang? Ah, ini sangat membuatku kesal. Jika saja Hyukjae Oppa tidak seenaknya meminjamkan mobilku pada eonni genit itu, aku tidak mungkin sesengsara ini. Ah ya, aku lupa mengatakan tentang kakakku. Aku memiliki seorang kakak bernama Lee Hyukjae, lebih tepatnya kakak angkat. Hyukjae Oppa hadir di keluargaku saat aku berusia tujuh tahun. Pria yang memiliki senyum khas itu diangkat oleh ayahku sebagai anak saat kami berkunjung ke sebuah panti asuhan untuk melakukan kegiatan amal perusahaan. Entah apa yang dipikirkan oleh ayahku saat itu, tiba-tiba saja ayahku menghampiri seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar ke arahku.

FLASHBACK 13 YEARS AGO

“Kau menyukai puteriku?”

Anak laki-laki itu mengangguk bersemangat sebagai jawaban atas pertanyaan dari ayahku. Senyumnya semakin lebar padaku setelah ayahku mengusap-usap pucuk kepalanya lalu menggandeng lenganku untuk semakin mendekat ke arah anak laki-laki itu.

“Ini puteriku, Kim Hana.” Kata ayahku memperkenalkanku pada anak laki-laki yang sedang memeluk boneka monyet itu.

Awalnya aku merasa aneh dengan anak itu. Tatapan matanya begitu hangat padaku dan juga senyuman itu selalu tersungging di bibirnya sejak tadi, menampakkan gusi-gusi merah muda yang bagiku terlihat menggemaskan.

“Namaku Hyukjae, Lee Hyukjae. Namamu?”

Tangan mungil anak itu terulur padaku. Ada rasa hangat yang menelusup ke dadaku saat tangan anak itu menunggu uluran tanganku. Kulihat ayahku sejenak, dan kudapati wajah yang selama ini begitu tegas padaku terlihat sangat lembut di hadapan anak yang bernama Lee Hyukjae ini. Aku tersenyum sejenak, sepertinya tidak ada salahnya berkenalan dengan anak ini. Dan sama seperti anak ini, aku rasa aku juga menyukainya-suka dalam arti tidak buruk untuk berinteraksi dengannya.

Gigi-gigi teratur miliknya semakin melebar saat aku menerima uluran tangannya dan menyebutkan nama yang telah orang tuaku berikan, “Hana, Kim Hana.” Kuberitahukan namaku pada anak laki-laki murah senyum ini. “Senang bertemu denganmu Hyukjae Oppa.” Lanjutku memanggilnya oppa, karena aku tau benar dari postur tubuh dan wajahnya, anak ini jelas lebih tua dariku beberapa tahun.

Selama kegiatan amal berlangsung, aku merasa cukup bosan. Aku keluar dari aula panti asuhan. Aku merasa tidak nyaman dengan acara amal kali ini yang dihadiri oleh puluhan wartawan. Kepopuleran ayahku di dunia bisnis memang patut diacungi jempol, wartawan yang lebih mirip sebagai penguntit itu selalu saja tau kegiatan-kegiatan ayahku meski kegiatan amal ini sebenarnya sudah dirahasiakan oleh pihak perusahaan agar panti asuhan merasa nyaman tanpa ada kehadiran wartawan yang akan memberondong mereka dengan berbagai macam pertanyaan itu.

Aku bermain di taman panti asuhan ini. Dan tanpa sengaja mataku menangkap sebuah objek yang menyita perhatianku. Objek yang beberapa menit lalu memberikan rasa hangat di dalam dadaku. Lee Hyukjae, aku melihat Lee Hyukjae bermain di taman ini sendirian.

“Oppa...”

“Hana-ya...”

“Apa yang kau lakukan di taman ini sendirian, Oppa?”

“Aku tidak sendirian, aku sedang bermain dengan boneka monyet ini.”

“Kenapa memainkan boneka monyet ini sendirian?”

“Karena hanya boneka monyet ini satu-satunya temanku.”

Aku terpaku mendengar jawaban dari Hyukjae Oppa, aku melihat kesedihan tiba-tiba muncul dari wajahnya. Wajah ceria dan selalu tersenyum tadi tidak lagi kulihat kali ini, yang ada hanya wajah muram dan menyedihkan. Aku yang sejak tadi berdiri turut berjongkok untuk menyamakan posisiku dengan Hyukjae Oppa, kutepuk bahunya, kuelus-elus juga pucuk kepalanya. Aku meniru apa yang ayahku lakukan saat aku sedang menangis dan perlakuan itu setidaknya sedikit membantu suasana hatiku saat aku menangis, kuharap Hyukjae Oppa juga merasakan hal yang sama jika aku memperlakukannya seperti ini.

“Hana-ya, kajja, kita pulang...” Seru ayahku yang tiba-tiba datang, sepertinya acara amal itu sudah selesai.

“Oppa, aku ingin menemanimu lebih lama lagi tapi aku harus pulang. Kalau appa tidak sibuk, aku akan main ke sini lagi. Oppa jangan bersedih lagi, arrachi?”

Hyukjae Oppa mengangguk sebagai jawaban atas ucapanku, ia juga berusaha tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Aku menggandeng tangan ayahku tanpa mengalihkan pandanganku dari Hyukjae Oppa.

“Hana-ya, kenapa kau tidak mengajak Hyukjae Oppa?”

Aku mendongakkan kepalaku, aku tidak mengerti maksud dari ucapan ayahku itu. Mengajak Hyukjae Oppa? Mengajak ke rumahku?

“Hyukjae-ya, kemari.”

Tanpa menunggu lama lagi Hyukjae Oppa menghampiri ayahku, anak laki-laki di hadapanku ini masih saja memeluk boneka monyet itu erat sambil menunggu ucapan ayahku selanjutnya.

“Hyukjae, namamu Lee Hyukjae ‘kan?”

“Ye, Lee Hyukjae imnida.”

“Mulai sekarang panggil aku appa, dan ikut dengan kami ke rumah.”

“Appa...” Aku terkejut setelah mendengar ucapan ayahku yang tiba-tiba itu. Ada perasaan aneh yang menyerang dadaku saat itu, perasaan yang membuatku bahagia sekaligus bingung atas tindakan ayahku yang begitu mendadak ini.

“Apa kau tidak suka?” tanya ayahku, kutatap wajah Hyukjae Oppa menunduk, sepertinya ia tidak berani memandangku, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Aku terdiam sejenak menatapnya, memperhatikan raut wajah yang membutuhkan perlindungan itu, wajah yang kurasa menyembunyikan kesedihan dengan menutupinya oleh senyuman lebar itu. Ah, aku tidak sanggup menolaknya.

“Gwaenchana. Aku senang sekali jika ada anak laki-laki di rumah kita, Appa.” Aku tersenyum lebar, berusaha meniru senyum lebar Hyukjae Oppa padaku, berusaha menghibur anak laki-laki yang kurasa cukup tegang saat menunggu jawabanku itu.

“Hana tidak keberatan, sekarang tergantung padamu Lee Hyukjae.”

“Aku mau ikut dan menjadi oppa untuk Hana, Ahjushi...”

Ayahku tersenyum setelah mendengar jawaban yang memuaskan dari Hyukjae Oppa, “kalau kau mau, jangan panggil ahjushi, panggil appa...”

“Ye appa...”

FLASHBACK END

Sejak saat itu aku dan Hyukjae Oppa tumbuh bersama sebagai kakak dan adik. Awalnya aku tidak mengerti maksud ayahku mengadopsi seorang anak laki-laki, tetapi baru-baru ini aku sadar, ayahku menghadirkan seorang pelindung dalam hidupku karena ayahku sejak saat itu jarang sekali ada di rumah. Bisnis ayahku semakin melebar bahkan ke beberapa negara di Asia. Jika tidak ada Hyukjae Oppa, mungkin saat itu aku akan merasa sangat kesepian di rumah.

Itu adalah sebagian masa kecilku dan Hyukjae Oppa yang cukup manis sebagai kakak dan adik. Sebelumnya aku tidak pernah menyangka Hyukjae Oppa akan tumbuh menjadi seorang pria yang tidak terduga. Ya, kukatakan tidak terduga karena Hyukjae Oppa yang imut dan menggemaskan itu tumbuh menjadi pria dewasa bernama Lee Hyukjae yang selalu tebar pesona pada gadis-gadis di perusahaan. Bukan itu sebenarnya yang paling menyebalkan dari pria penyuka monyet itu, aku masih bisa memaafkan perilaku playboy itu karena itu adalah hak mutlak seorang pria tetapi aku masih tidak bisa memaafkannya saat setahun yang lalu dengan sangat bijak-mungkin baginya-menolak tawaran ayahku padanya untuk menjadi direktur di perusahaan. Hyukjae Oppa menolak dengan alasan bahwa aku lebih berhak, akan merasa sangat terhormat jika dirinya hanya menjabat sebagai wakil direktur. Ck, menyebalkan sekali.

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit...

Seorang pria menarikku kasar ke tepi jalan saat sebuah mobil begitu cepat melaju ke arahku yang menyeberang jalan sambil mengenang masa kecilku. Jika tangan kekar itu tidak menarikku, aku tidak tau nasibku sekarang.

“Kau pikir ini jalan nenek moyangmu??? Jangan ngebut di jalanan sepadat ini, kau tidak bisa mengemudi??? Apa aku harus mengajarimu mengemudi??? Jangan karena kau orang kaya dan memiliki mobil sialan ini, kau bisa seenaknya menggunakan jalan semaumu!!”

Umpatan-umpatan kasar pria itu sontak membuat si pengemudi mobil yang hampir menabrakku itu terpaku, beberapa detik kemudian aku sudah mendengar rentetan ucapan maaf terlontar dari si pengemudi mobil. Dan pria itu dengan begitu dingin tidak menghiraukan ucapan maaf itu dan lebih memilih untuk menghampiriku.

***

Donghae’s POV

Aku tidak memikirkan apa-apa lagi saat kulihat gadis ceroboh itu tiba-tiba menyeberang jalan raya untuk mengejar taksi di seberang jalan sana. Aku yang sejak tadi bersandar di pohon yang berada di dasbor jalan ini dengan reflek berlari ke arahnya karena tau ada mobil berkecapatan tinggi yang sedang melaju ke arahnya. Kutarik lengan itu, kurangkul tubuhnya agar terhindar dari tabrakan mobil itu. Kukorbankan tubuhku menyentuh aspal untuk melindungi tubuh gadis bodoh ini agar tidak terluka. Dan aku merasakan sebuah benda tajam terasa merobek kulit dan menembus dagingku cukup dalam pada bagian bahu kiriku.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt...

Beberapa saat kemudian pengemudi sialan itu memanfaatkan fungsi rem pada mobilnya lalu mundur sedikit dan mendongakkan kepalanya ke arahku dan gadis bodoh ini. Bukankah seharusnya ia turun dulu untuk memastikan apakah nyawa kami masih bersarang di raga kami? Cih, dasar orang kaya, tidak tau perasaan!

“Kau pikir ini jalan nenek moyangmu??? Jangan ngebut di jalanan sepadat ini, kau tidak bisa mengemudi??? Apa aku harus mengajarimu mengemudi??? Jangan karena kau orang kaya dan memiliki mobil sialan ini, kau bisa seenaknya menggunakan jalan semaumu!!”

Umpatan-umpatan itu keluar dari mulutku, ada emosi yang meledak-ledak di dadaku. Kulihat pengemudi itu hanya diam mematung di dalam mobilnya hingga kudengar ucapan maaf darinya. Tetapi ucapan maaf itu tidak terlalu penting bagiku saat ini.

“Pergi!” Kataku pelan. Aku melangkah meninggalkan orang itu dan secepatnya menghampiri gadis bodoh yang masih tergeletak dengan menatapku dengan tatapan yang cukup terkejut itu.

“Kau mau bunuh diri??? Kau ini mau mati??? Atau jangan-jangan otakmu sudah tidak berfungsi dengan baik??? Kalau kau mau bunuh diri jangan di tempat ramai seperti ini, apalagi di hadapanku!!”

Wajah gadis ini semakin terlihat pucat setelah aku membentaknya dengan sangat kasar. Aku yakin gadis ini terkejut melihatku yang seperti ini. Aku sangat membenci orang yang ceroboh, orang yang tidak berhati-hati dan tidak menjaga dengan baik dirinya, seperti gadis di hadapanku ini.

“Kau, sekali lagi kulihat kau ceroboh, aku...”

Seseorang mengepal lenganku yang sedang menunjuk-nunjuk gadis ini, tangan kekar yang semakin lama semakin erat menggenggam lenganku, tidak, lebih tepatnya mencengkram lenganku. Tatapan mata orang ini berapi-api menatapku, ada nada marah yang ia tahan di dalam matanya. Cih, jika marah ya marah saja, pukul aku sekalian, jangan menahan amarah seperti pengecut!

“Oppa, hentikan, orang ini yang menyelamatkanku.”

Sudah kuduga, pria ini pasti mengenal gadis ceroboh itu. Mana mungkin ia bisa semarah itu jika gadis yang tadi kubentak-bentak itu bukan orang yang dikenalnya.

“Gwaenchana? Apa lukamu parah? Kita ke rumah sakit sekarang.”

“Gwaenchana, tidak perlu oppa, ini hanya luka kecil.”

“Masuk ke mobil, aku ingin bicara dengan orang ini dulu.”

“Oppa...”

“Aku tidak akan berkelahi, kau pikir oppamu ini gengster?”

“Janji?”

“Ya, oppa janji.”

Percakapan yang terdengar begitu manis sekaligus memuakan di telingaku. Pria yang terlihat menatapku dengan tatapan membunuh beberapa menit yang lalu berubah menjadi seekor monyet yang begitu manis di hadapan seorang gadis, begitu memalukan!

“Kita perlu bicara.”

“Silahkan.” Balasku ketus.

Aku tau pria ini masih sedikit kesal padaku, aku juga tau bahwa pria ini benar-benar tidak menyukaiku karena perlakuanku tadi. Tetapi aku juga yakin bahwa pria ini sangat berterimakasih padaku, menganggapku pahlawan yang telah menyelamatkan nyawa seorang tuan puteri dan mencegah timbulnya rasa bersalah seorang pangeran karena tidak bisa melindungi sang tuan puteri.

“Maafkan aku, dan terimakasih kau telah menyelamatkan adikku.”

“Adikmu?”

Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku, seakan hatiku mendesak otakku untuk mengucapkan kata itu melalui inderaku.

“Dia Kim Hana, adikku. Dan kenalkan, namaku...”

“Tidak perlu, seakan kita akan saling bertemu lagi di kemudian hari. Kita tidak perlu berkenalan karena itu tidak penting. Lebih baik kau jaga adikmu yang ceroboh dan bodoh itu, ajari gadis itu cara menyeberang jalan dengan baik!”

Aku langsung memunggunginya lalu pergi dari dasbor jalan dekat gerbang kampus ini. Ah, kejadian tadi membuat suasana hatiku yang tenang mendadak rusak. Dan aku paling benci dengan sifatku ini, aku benci pada orang yang ceroboh tetapi aku selalu tidak bisa diam saat melihat kecerobohan seseorang. Seperti yang terjadi barusan, tanpa pikir panjang aku menyelamatkan gadis ceroboh itu, gadis yang bahkan tak pernah bertegur sapa denganku meski kami sering bertemu di koridor kelas itu.

Aku memutuskan untuk berjalan saja menuju kafe tempatku bekerja daripada aku menunggu koki amatir yang tak pernah tepat waktu itu menjemputku. Bisa-bisa aku menemui banyak kecerobohan jika aku terus menunggunya di tempat tadi. Akh, aku baru sadar dengan luka robek pada bahu kiriku yang menghantam pecahan botol di dasbor jalan tadi.

“Hyung...”

Suara itu, suara yang tiba-tiba membuat emosiku kembali memuncak hampir sampai ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin bocah itu dengan tanpa rasa bersalah memanggilku setenang dan seceria itu?

“Hyung, kau sedang olahraga?”

“Yak, Kim Ryeowook!! Kau tidak bisa tepat waktu sedikit saja?”

Aku langsung membuka pintu mobil itu, duduk dengan dada naik turun, aku memang begini, terkadang aku sampai meluap-luap hanya karena hal yang sepele. Tetapi bocah SMA yang sekarang sedang mengemudikan mobil ini selalu tenang dan santai menghadapiku.

“Hyung, apa kau berkelahi lagi? Siapa? Siapa orang yang baru saja menghajarmu sampai kau berdarah seperti itu?”

“Apa kau mau kuhajar juga?”

“Aku akan menuntutmu.”

“Yak, orang kaya memang sama saja.”

“Tidak hyung, kau tau aku berbeda.”

Aku terdiam, mengiyakan apa yang baru saja bocah ini katakan. Memang benar, bocah ini tidak seperti kebanyakan orang kaya yang manja dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya. Ryeowook bahkan melakukan pekerjaan paruh waktu di kafe yang sama denganku setelah ia pulang sekolah, padahal bocah ini adalah putera seorang pengusaha, tetapi sifat rendah hatinya terlalu berlebihan, bahkan bocah ini menganggapku lebih pantas dihormati dibanding dirinya karena faktor usia yang berbeda diantara kami.

“Katakan hyung, kau sedang ada masalah?”

“Kau cerewet sekali.”

“Arraseo, pasti benar, kau sampai berkelahi dengan orang seperti itu. Aku tidak akan bertanya lagi.”

“Aku tidak berkelahi!”

“Kita ke klinik dulu untuk menjahit lukamu itu, Hyung.”

Jalanan Seoul di jam istirahat seperti sekarang ini benar-benar padat dan membuatku sangat tidak nyaman berada di dalam mobil. Sebenarnya ia kemanakan uang dari ayahnya sampai-sampai AC mobilnya tidak berfungsi dengan baik?

“Mianhae hyung, aku malas merawat mobil ini, AC belum sempat kuperbaiki.”

Bocah ini pasti tau apa yang ada dalam pikiranku dengan melihat wajahku yang penuh keringat ini, “tidak apa-apa, hatiku lebih panas lagi saat mengalami kejadian tadi.”

“De?”

“Tidak, menyetir saja dengan benar!”


***


Hyukjae’s POV

Bagiku tidak apa melanggar pesan ayah sekali ini saja. Aku melajukan mobil ini menuju rumah sakit, aku bukan seorang kakak kejam yang tega membawa adiknya ke ruang rapat itu dalam keadaan tubuhnya yang terluka seperti sekarang ini.

“Oppa, ini bukan...”

“Diam saja, paling tidak kau harus mendapat perawatan. Kau diam saja di rumah sakit, biar oppa yang menggantikanmu memimpin rapat itu. Bukankah kali ini jabatan oppa sebagai wakil direktur menjadi terpakai?”

“Mianhae oppa, aku merepotkanmu.”

“Yak, tidak usah berpura-pura merasa bersalah. Oppa tau kau sering mengutuk oppa karena jabatanmu itu, benar?”

“Nde...”

Sesuai dugaanku selama ini. Gadis ini pasti sangat kesal padaku yang menolak tawaran dari ayah untuk menjabat sebagai direktur. Aku tidak bermaksud mengecewakan ayah atau menjadi anak yang tidak bisa dipercaya, tetapi aku hanya merasa tidak pantas mendapat jabatan setinggi itu jika mengingat siapa aku sebenarnya. Kenapa harus aku sedangkan anak kandung ayahku ada dan kurasa sangat mampu. Aku bukan kejam terhadap adikku ini, aku hanya ingin Hana tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan berpengalaman sejak dini mengingat persaingan di luar maupun di dalam perusahaan sangat mengerikan.

“Oppa, apa yang kalian bicarakan tadi?”

“De?”

“Kalian membicarakan apa? Kenapa pembicaraan kalian terlihat seperti tidak menyenangkan?”

“Oppa hanya meminta maaf atas perlakuan kasar oppa sebelumnya dan juga berterimakasih karena dia telah menyelamatkanmu.”

“Itu saja?”

“Ya, itu saja. Kenapa?”

“Tidak apa-apa, Oppa.”

Aku tau bahwa Hana penasaran sekali dengan pembicaraanku dengan orang itu. Tapi tidak mungkin aku memberitahukan Hana bahwa orang itu mengatainya gadis bodoh dan ceroboh, bisa-bisa emosi Hana memuncak. Gadis ini terlalu susah dikendalikan jika berada dalam keadaan normal. Hanya saat ini aku merasa dunia sedang sepi karena gadis ini tidak terlalu banyak bicara. Jika tidak sedang shock karena kejadian tadi, sudah pasti berbagai umpatan pada kakaknya keluar dari tadi.

“Aku kesal pada pria itu. Ya, aku memang sangat berterimakasih atas pertolongannya yang mengejutkan itu. Tapi tetap saja, apa harus dengan cara seperti itu dia menolongku??? Apa dia tidak melihat aku begitu terkejut gara-gara mobil itu??? Apa dia sama sekali tidak kasihan padaku??? Cih, dasar pria dingin, aneh, kejam, psikopat!!!”

Mulai, ini sudah dimulai, sifat asli seorang Kim Hana kembali muncul ke permukaan. Keterkejutan atas peristiwa tadi sepertinya sudah sedikit menghilang darinya, terbukti dengan ocehan-ocehan yang begitu saja ia ucapkan tentang orang itu.

“Awas kau Lee Donghae, jika aku bertemu lagi denganmu, mati kau!! Dasar pria berdarah dingin, menyebalkan!!!”

“Lee Donghae? Kau kenal dengan orang itu?”

“Aku akan menjadi gadis yang paling bodoh jika tidak mengenal orang sepopuler dia. Pria itu sangat terkenal, Oppa. Dia banyak disukai gadis-gadis di kampus, tapi sedikitpun aku tidak menyukainya, apa yang patut disukai dari pria sedingin itu? Membayangkannya saja aku sudah muak! Lee Donghae, Sejam yang lalu aku tidak begitu membencimu, tapi sekarang aku akan menjadi orang terdepan yang paling membencimu!!”

“Yak, sudah cukup kau membicarakan pria bernama Lee Donghae itu, kau cukup membicarakan pria bernama Lee Hyukjae ini.”

“Ck, untuk apa aku membicarakan orang yang ada di dekatku, Oppa? Dasar monyet jelek!”

“Yak...!”

“Cepat sedikit, Oppa. Sikuku sangat perih.”

“Yak, kau bilang tadi tidak apa-apa. Sakitnya baru terasa sekarang hum?”

“Oppa, padahal aku jatuh di atas tubuhnya. Apa dia baik-baik saja?”

“Kau membicarakan pria itu lagi Kim Hana? Sudahlah, pria itu sepertinya terlihat kuat.”


***

Author’s POV
2 Days Later

“Lee Donghae, Lee Donghae, Lee Donghae...”

Hana bergidik ngeri melihat gadis-gadis itu berteriak histeris saat seorang Lee Donghae beradu lari dengan seorang mahasiswa jurusan olahraga di partai final. Kulihat mata mereka berbinar saat pria menyebalkan itu berhasil menyalip lawannya, dan hanya selang beberapa detik kemudian pria itu berhasil mencapai garis finish. Gadis-gadis itu bersorak gembira, saling berpelukan setelah tau bahwa jagoan mereka memenangkan nomor balap lari pada pekan olahraga antar jurusan ini. Lomba lari putera dimenangi oleh jurusan matematika yang diwakili oleh Lee Donghae, sedangkan partai final untuk tingkat puteri baru akan dimulai beberapa menit lagi.

Hana masih saja memperhatikan gadis-gadis yang menurutnya sudah gila itu. Bagaimana mungkin mereka mengidolakan seorang Lee Donghae yang bahkan tidak tersenyum sedikitpun setelah memenangi pertandingan itu. Paling tidak, normalnya pria itu harus high five atau berpelukan dengan rekan-rekannya yang menyemangatinya di pinggir lapangan atau jika itu terlalu berat baginya, ia cukup memberikan senyum pada mereka karena telah rela menghabiskan suara untuk mendukungnya. Dasar pria aneh!

“15 menit lagi pertandingan balap lari final puteri akan mempertemukan jurusan matematika dengan jurusan manajemen bisnis. Untuk wakil dari masing-masing jurusan yaitu Choi Jiwon dari jurusan matematika dan Kim Hana dari jurusan manajemen bisnis, harap mempersiapkan diri.”

Lapangan yang sangat luas itu tiba-tiba saja semakin panas bagi Hana setelah ia mendengar bahwa namanya disebut untuk mempersiapkan diri. Gadis itu cukup gugup sejak seminggu yang lalu, gugup saat tau bahwa dirinya menjadi wakil jurusan sebagai pelari dan gugup saat beberapa jam yang lalu ia berhasil menyingkirkan lawan-lawannya dan melaju ke final untuk menantang jurusan matematika yang terkenal sangat hebat dalam bidang atletik bahkan jurusan olahraga sendiri masih di bawah mereka dalam bidang atletik. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang meski ia belum berlari, sesaat ia memandang kakinya yang masih lebam akibat kejadian dua hari yang lalu dan bertambah parah setelah berlari di partai sebelumnya beberapa jam yang lalu. Kakaknya sudah melarangnya agar mengundurkan diri, tetapi gadis ceroboh itu tidak mendengar apa yang sudah disuruh oleh kakaknya. Baginya anti menyerah sebelum berperang!

Lee Donghae yang baru saja meneguk air minum di pinggir lapangan seberang sana menatap ke arah Hana, Hana juga tau bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh sosok menyebalkan itu, sosok yang selalu menatapnya dengan tatapan tajam yang seakan ingin menerkam dirinya. Donghae menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyunggingkan senyum miring pada Hana. Senyum? Ya, ini kali pertama Hana melihat senyum pria itu, bukan senyum manis bagi Hana, itu lebih tepat seperti senyum yang merendahkan dan meremehkan Hana.

Waktu pertandingan dimulai. Hana bangkit, bersiap di posisi start bersebelahan dengan Jiwon. Hal pertama yang Hana lakukan adalah berdoa. Ya, hanya itu yang ia bisa lakukan mengingat betapa gugupnya ia saat ini, apalagi tatapan tajam dari pria menyebalkan itu terus tertuju padanya.

“Apa kau sedang berdoa agar memenangkan pertandingan ini Nona Kim?”

“Shhhh, apa aku terlihat seperti sedang mendoakanmu? Pertanyaan bodoh!”

“Dasar dada rata!”

“Mwo???!! Kau, kau Choi Jiwon!!!”

“Lihat, aku akan menunjukkan pesonaku saat aku berlari. Kau boleh saja cantik, tapi mereka akan mengabaikan kecantikanmu hanya karena aku. Bahkan jika aku kalah, aku tetap akan mendapat sorak dari mereka. Tapi kau? Menang juga belum tentu akan mendapatkan hal seperti itu.”

“Cih, dasar gadis mesum! Kau pikir semua pria menyukai dada sepertimu?”

“Yak, apa yang kalian lakukan? Bersiaplah! Ready... Go...!!!”

Hana dan Jiwon berlari setelah kode yang diucapkan oleh Dosen Han, dosen yang bertanggungjawab atas pertandingan nomor balap antar jurusan itu. Baik Dosen Han ataupun semua yang hadir di tempat itu, mereka berteriak memberikan semangat pada masing-masing ‘atlet dadakan’ yang mereka dukung. Benar saja, apa yang dikatakan Jiwon sebelumnya. Selama ini, saat Hana berjalan di lingkungan fakultasnya, semua pria selalu memperhatikannya kecuali seorang Lee Donghae yang dingin itu-yang menatapnya dengan tajam dan tidak bersahabat. Tetapi, pada pertandingan kali ini ketika dirinya harus berbaur dengan semua fakultas dan jurusan yang ada di kampusnya, ia baru menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Choi Jiwon, teman yang dulu sempat satu SMA dengannya justru lebih populer. Gadis itu tidak secantik Hana, tetapi gadis itu memiliki tubuh bagaikan seorang model profesional, lekuk tubuh yang menggoda dan tentu dada yang jauh lebih menonjol dibanding Hana. Pria mana yang tidak suka? Astaga, Hana yang tidak fokus berlari, ia justru baru menyadari bahwa hari ini terjadi lagi suatu kejadian langka. Saat orang-orang memperhatikannya di lingkungan fakultas tempat ia belajar, hanya pria itu yang mengabaikannya, tetapi sekarang, saat mereka berpaling dan mengabaikannya justru hanya pria itu yang menatapnya hingga tak bergeming, pria bernama Lee Donghae itu sejak tadi memperhatikannya.

“Choi Jiwon, Choi Jiwon, Choi Jiwon...”

“Kim Hana, Kim Hana, Kim Hana...”

Setidaknya teman-teman sekelas Hana masih ada yang memberinya semangat. Ternyata tidak semua orang yang baik padanya itu tulus, tidak semua orang yang menyapanya itu benar-benar tulus ingin menyapa. Di tempat ini ia baru saja mengetahui bahwa senyum-senyum yang selama ini tertuju padanya hanya sebuah nafsu belaka dari pria-pria hidung belang itu. Ck, dalam hati gadis itu berharap bahwa kakaknya meski playboy, Lee Hyukjae tidak seburuk playboy-playboy di kampusnya.

“Akkkhhhh.”

Hana meringis saat menyadari kakinya yang masih belum pulih itu terasa semakin sakit. Tapi bukan Hana namanya jika gadis itu berhenti di tengah pertandingan seperti ini, gadis itu terus menahan rasa sakitnya dan berusaha untuk mendekati Jiwon yang hanya beberapa langkah kaki saja di depannya.

“Aku harus bisa, aku tidak ingin kalah dari gadis menyebalkan itu!”

Hana berlari semakin kencang, ia menyingkirkan segala rasa sakit itu seketika, gadis yang sebenarnya sangat ambisius itu begitu saja menyalip Jiwon dan membuat banyak pasang mata tercengang menyaksikan kegigihannya. Mereka terpukau, Dosen Han, teman sekelas dan teman yang satu jurusan dengannya kali ini bungkam terbawa arus ketegangan Hana yang berlari semakin cepat dengan wajah yang semakin pucat namun sangat gigih itu, kecuali Lee Donghae. Donghae justru meringis menyaksikan ulah gadis ceroboh itu, ada rasa kesal yang mendesak keluar dari dalam dadanya, rasa kesal pada gadis ceroboh yang lagi-lagi membahayakan dirinya sendiri itu.

“Kau rupanya ngotot ingin menang Nona Kim!”

“Sudah kubilang, aku tidak akan kalah denganmu buah melon!”

“Mwo??? Apa kau bilang??? Melon!!! Sialan, awas kau!!!”

Bagai terprovokasi oleh ucapan Hana, gadis yang paling dibenci Jiwon sejak dulu. Jiwon berlari sama gigih dan berusaha menempel Hana, tapi Hana yang tak menyerah itu belum bisa dikejar olehnya hingga pikiran jahat itu berkelebat dalam benak gadis bermarga Cho itu.

BRUUUKKKK

“Hanaaaaaaaaa...”

Pekikan itu berasal dari teman-teman dekat Hana yang menonton dari pinggir lapangan. Semua diam terpaku menyaksikan tubuh Hana yang terkapar di tengah lapangan, bahkan saat Jiwon sampai di garis finish, tidak ada seorangpun yang bersorak untuk gadis jahat itu.

“Akkkkkhhhhhhhhh...”

“Kim Hana.........!!!!!”

Lee Donghae, hanya pria dingin itu yang langsung berlari menghampiri Hana ke tengah lapangan tanpa mengalihkan tatapannya pada gadis bodoh yang sedang menggelepar-gelepar itu.

“Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!!”

“Diam bodoh, kau mau bunuh diri di hadapanku untuk yang kedua kalinya hah?”

Donghae menggendong Hana ke pinggir lapangan, pria dingin itu berjalan menuju Dosen Han dengan tatapan yang benar-benar berkilat.

“Kau harus menghukum gadis mengerikan itu, Sem!”

Tak harus menunggu jawaban dari Dosen Han, Donghae langsung menjauhi lapangan. Berlari kecil sambil menahan beban yang ada dalam gendongannya.

“Hyung, apa kau menang?”

“Ah kau Wookie-ah, kebetulan sekali kau datang.”

“Aku membolos sekolah hanya demi melihatmu, Hyung. Tapi sepertinya aku terlambat.”

“Tidak ada waktu untuk mendengarkan ocehanmu. Bawa aku ke rumah sakit!”

“Gadis ini terluka, Hyung? Siapa dia?”

“Sudah kubilang tidak ada waktu untuk mengoceh!”

Ryeowook yang datang tepat waktu itu langsung mengantarkan Donghae dan Hana ke rumah sakit. Tidak ada penolakan lagi dari gadis itu saat ia melihat Donghae meminta Ryeowook mengantarnya ke rumah sakit, ada kesungguhan yang terlihat di dalam ucapan itu dan itu sudah cukup membuat Hana pasrah.

“Gomawo, kau menyelamatkanku lagi.”

“Kita belum sampai di rumah sakit, kau belum tentu selamat.” Kata Donghae dengan intonasi dan mimik wajah yang dingin.

“Tetap saja, aku sangat berterimakasih.”

“Diam! Tidak ada gunanya mengoceh!”

“Yak, tidak bisakah kau sedikit bicara lembut padaku?”

“Bicara lembut padamu? Sepertinya tidak mungkin mengingat kau adalah orang yang sangat ceroboh.”

“Lee Donghae, namamu Lee Donghae ‘kan? Meski aku sangat membencimu, aku tetap berterimakasih....”

“Berhenti bicara, wajahmu pucat, kau bisa pingsan. Dasar gadis ceroboh!”

Benar saja dengan apa yang Donghae katakan. Hana tak sadarkan diri setelah itu, untung saja mereka sudah sampai di rumah sakit dan sudah menyerahkan Hana untuk ditangani oleh dokter.

“Noona itu, apa dia yang membuatmu kesal tempo hari, Hyung? Dia yang kau perebutkan dengan pria yang membuatmu berdarah ‘kan, Hyung?”

“Diam kau! Hentikan imajinasi liarmu!”

“Kau menyukainya?”

“Tidak, apa alasanku menyukai gadis seperti itu? Gadis itu sudah dua kali membahayakan dirinya di depan mataku, apa aku harus berdiam diri saja?”

“Kalau aku jadi kau, aku juga akan menolongnya, Hyung.” Ryeowook mengiyakan ucapan Donghae. Benar juga, menurutnya Donghae yang dingin itu sebenarnya memiliki hati yang hangat. Donghae tidak akan berdiam diri melihat orang lain menderita di hadapannya.

“Hyung, kau sudah menghubungi keluarganya?”


Hyukjae’s POV

Aku sedang membuat beberapa laporan yang seharusnya Hana kerjakan saat ponselku berdering. Ah, siapa yang menghubungiku disaat kepalaku dibuat pusing begini oleh pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh gadis itu?

“Monyet, kau kakaknya Hana? Aku menghubungi nomor ini karena tertulis Monyet Oppa di kontak ponsel Hana, kupikir kau orang yang waktu itu. Adikmu, adikmu ada di rumah sakit, cepat ke sini dan jaga adikmu yang ceroboh ini!”

Aku langsung mematikan komputer di meja kerjaku tanpa prosedur semestinya, persetan laporan yang setengah kukerjakan itu sudah tersimpan atau belum. Pikiranku hanya terfokus pada Hana. Di rumah sakit? Baru dua hari yang lalu aku membawanya ke rumah sakit, dan sekarang gadis itu kembali lagi ke sana? Dan kenapa Hana harus di rumah sakit dengan pria itu. Ya, aku masih ingat suara dingin pria yang menyelamatkan Hana dua hari yang lalu, kenapa Hana terlibat lagi dengan pria itu?


***


Kudapati tubuh mungil adikku di dalam kamar rawat rumah sakit ini, sendirian. Kudekati tubuh yang terlihat sangat lelah itu. Aku tidak tau apa yang terjadi dengan adikku ini, yang kutau hanyalah rasa sakit yang tiba-tiba menyerang dadaku saat melihatnya seperti ini. Mungkin karena aku dibesarkan bersama dengannya dan mengingat betapa manjanya gadis ini. Hana pasti sangat kesakitan hingga ia bisa tak sadarkan diri seperti ini.

“Kau sudah datang rupanya...”

Aku menoleh saat suara itu sampai ke pendengaranku. Bisa-bisanya dia berucap dengan nada bicara setenang itu. Pria ini pasti penyebab segala kemalangan yang diderita Hana kali ini. Aku tidak akan memaafkannya, dari awal aku memang sudah melihat bahwa pria ini membawa pengaruh buruk untuk adikku.

Aku bangkit menghampirinya yang berdiri di ambang pintu. Setelah sangat dekat dengannya, kucengkeram kaus olahraga yang berkerah itu dan menghimpit tubuhnya hingga menyentuh dinding kamar rawat ini.

“Brengsek!! Berani-beraninya kau memperlakukanku seperti ini!” ucapnya yang terlihat ingin segera membalasku.

“Kau brengsek!! Kau apakan adikku? Terakhir kali aku mendapati adikku terluka saat ada kau di sana, dan sekarang dia di rumah sakit juga denganmu, aku jadi ragu saat itu apa benar kau menyelamatkan adikku hahh??”

“Apa peduliku kau percaya atau tidak padaku??”

“Paling tidak katakan padaku, apa yang terjadi??”

“Tanya saja pada adikmu yang ceroboh dan bodoh itu! Kau akan lebih percaya padanya daripada mendengar jawabanku ‘kan??” jawabnya dan sukses membuat amarahku semakin memuncak.

“Brengsek kau!!”

Aku semakin menekannya ke dinding, tidak peduli pria brengsek ini meringis kesakitan atas perlakuanku. Kedua tangannya meraih tanganku dan berusaha melepaskan cengkeramannku pada lehernya.

“Lepaskan, atau akan kubuat kau menyesal sekarang juga!”

“Cih, aku harus memberikan pelajaran dulu padamu!”

“Akkkhhhh...” Wajahnya semakin meringis, aku tidak tau bahwa cengkeramanku pada kerahnya yang membuatnya terhimpit ke dinding ini bisa begitu menyakitkan baginya hingga ia meringis begitu. Apa pria ini tidak sekuat yang terlihat? Apa hanya ucapan dan tatapan matanya saja yang tajam?

“Oppa...”

“Hana-ya, kau sudah sadar?”

“Lepaskan dia, Oppa!”

Hana beranjak dari tempat tidurnya, mencabut selang infus yang menopang tubuhnya, menghampiriku dan menyentuh tanganku. Kedua sorot matanya menyuruhku untuk melepaskan cengkeraman tanganku pada pria yang kesakitan ini.

“Lepaskan dia, Oppa. Kau tidak seharusnya memperlakukannya dengan buruk seperti ini, Dia menyelamatkanku lagi.”

“Menyelamatkanmu?”

Aku melepas cengkeramanku pada kerah kaus olahraganya. Ada rasa penyesalan dalam diriku karena tidak bisa mengendalikan emosiku yang meluap-luap tadi.

“Mianhae Donghae-ssi, maafkan juga oppaku.”

“Sudahlah, aku pergi!”

Pria bernama Donghae itu menjauhkan tubuhku dari hadapannya dengan sedikit dorongan, tanpa menatap wajahku ia pergi dari tempat ini. Dan orang itu menyuguhkan pemandangan yang sungguh semakin menambah rasa penyesalanku atas perilaku buruk yang baru saja kulakukan. Kulihat kaus olahraga berwarna biru cerah itu telah ternoda oleh banyak darah, dan aku cukup mengerti kenapa Donghae begitu kesakitan hanya karena himpitan yang kulakukan padanya ke dinding kamar rawat ini, rupanya pria itu sedang terluka dan aku semakin memperburuk luka yang ia alami. Lee Hyukjae, kau sangat keterlaluan.

“Donghae-ssi...”

Hana yang masih lemah itu berjalan mengejar langkah pria itu, gadis itu bahkan berjalan dengan memegangi dinding, sangat gigih meski punggung itu semakin menjauh darinya.

“Donghae-ssi.......!” Hana memanggil pria itu lebih keras dari sebelumnya, ia bangkit lagi, meski akhirnya ia kembali terjatuh akibat keadaan fisiknya yang masih lemah karena memaksakan diri saat pertandingan lari di kampus tadi.

“Hana-ya...” Hyukjae perlahan mendekati gadis itu. Belum sampai ia di tempat Hana terjatuh, ia menghentikan langkahnya tiba-tiba saat gadis itu lagi-lagi kembali bangkit.

“Yak! Lee Donghaeeeeeeeeeeeee....!!!”

Hyukjae terkejut mendengar bentakan Hana pada sosok dingin yang sudah cukup jauh itu, begitu juga dengan sosok dingin itu.

“Yak, apa kau ingin bunuh diri di hadapanku Lee Donghae????” Kata Hana kembali membentak pria itu. Donghae bagai tersambar petir berkekuatan ringan saat ia mendengar ucapan Hana yang menirunya.

Donghae membalikkan tubuhnya, dan kini mereka berdua sudah saling menatap. Donghae masih terpaku di tempat saat mendapati gadis yang sudah dua kali ia selamatkan itu berdiri dengan sangat menyedihkan.

“Kau mau mati? Apa kau pria yang benar-benar ceroboh atau otakmu sudah tidak berfungsi dengan benar?”

Mata gadis itu mulai memanas menandakan cairan bening itu mendesak ingin segera menodai pipi mulusnya. Donghae tidak tahan dengan pemandangan itu dan tidak akan membiarkan makhluk lemah itu menangis di hadapannya hanya karena darah. Ya, darah. Donghae tau bahwa gadis itu menangis karena ia melihat begitu banyak darah yang keluar dari bahunya karena rusaknya jahitan luka di bahu itu akibat menghantam pecahan botol di dasbor jalan saat ia menyelamatkan gadis itu dari tabrakan mobil dua hari yang lalu.

Ada degupan yang tidak bisa diterjemahkan langsung saat sosok dingin itu berjalan ke arah Hana dan juga ada rasa panas yang tidak pernah dirasakan sebelumnya oleh Hyukjae saat pria lain mendekati Hana, dan pria dingin bernama Lee Donghae itu cukup membuat Hyukjae merasa tersingkir sementara waktu. Di sisi lain Hyukjae juga khawatir saat pria itu semakin mendekati adiknya setelah Hana mengucapkan kata-kata kasar tadi, ia takut Donghae murka dan melakukan hal yang buruk pada adiknya. Tetapi lagi-lagi dugaan Hyukjae salah terhadap Donghae.





***

TO BE CONTINUE 


Hahahaha, ga akan banyak omong. Kira-kira apa yang akan dilakukan Donghae pas udah deketin Hana ya????

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar