PROTECTIVE LOVE
Chapter #1
Cast : Kim Hana, Lee Donghae, Lee Hyukjae, Kim Ryeowook, Cho Kyuhyun, and Other Cast
By : Covi Kim a.k.a Evilia
Wujud nyata yang
biasa kulihat perlahan pudar
Bahkan menghilang
sehingga menyisakkan sesak di dadaku
Lee Donghae, ternyata
aku bisa hancur karena terlalu lama tak melihatmu
Author’s POV
Banyak
orang di dunia ini yang bangga dengan sebuah kata, cinta. Cinta bisa dikatakan
sebagai rasa sayang dan rasa ingin melindungi seseorang yang dianggap penting.
Cinta juga akan menimbulkan suatu dorongan untuk membahagiakan orang penting
itu, membuatnya selalu tersenyum bahagia dan berusaha membuatnya tidak menjatuhkan
air mata. Tetapi pada kenyataannya, kisah cinta tidak selamanya indah dan
berjalan sesuai dengan keinginan manusia. Tuhan telah membuat skenario bagi
setiap manusia dalam menjalani kehidupan ini, tak lepas pula dalam hal cinta.
Cinta di dalam kehidupan bukan hanya cinta antara seorang pria dengan wanita
yang saling berdegup saat kedua mata saling menatap, cinta juga bisa berasal
dari orang tua, keluarga, dan sahabat. Dan dari semua asal cinta itu, ada
berbagai cara dalam mengekspresikannya.
Cinta
tidak pernah salah dalam mempersembahkan perasaan, tidak terkecuali pada
seorang kriminal kejam sekalipun. Tetapi cinta bisa saja berubah menjadi tak
seindah yang semestinya jika sudah dicampuri oleh hal lainnya, seperti yang
dilakukan oleh seorang pria paruh baya yang sangat mencintai anaknya namun
membuat anaknya merasa tak dicintai. Pria paruh baya itu adalah Tuan Kim Taejin,
seorang pengusaha yang meraih kesuksesan bisnis bukan hanya di Korea,
perusahaannya sudah mengepakkan sayap ke hampir seluruh wilayah Asia. Tuan Kim
memiliki seorang puteri bernama Kim Hana, berusia 20 tahun dan masih duduk di
tahun kedua perkuliahan.
“Cepat
ke perusahaan dan pimpin rapat dewan direksi satu jam lagi! Bagaimana mungkin
kau masih berada di kolam renang kampusmu Hana-ya? Kau lupa rapat ini sangat
penting?”
“Arraseo
appa, aku akan segera ke sana.”
Hana
melenguh setelah ia memutuskan sambungam internasional dengan ayahnya yang kini
sedang ada di Jepang. Gadis itu sebenarnya malas atau bahkan bisa dikatakan belum
siap secara mental dalam menghadapi segala permasalahan yang ada di perusahaan,
tetapi Tuan Kim mendidik Hana sangat keras sehingga membuat gadis itu terpaksa
mengikuti keinginan ayahnya. Hana yang masih muda itu sudah menjabat sebagai
direktur di perusahaan milik ayahnya yang ada di Korea sejak setahun yang lalu.
Kesibukan adalah makanan sehari-harinya, dan sungutan-sungutan kecil dari
teman-temannya yang memprotesnya karena selalu menolak diajak bersenang-senang
adalah angin lalu baginya. Wajar menurutnya jika teman-temannya protes, mereka
tidak tau bahwa Hana yang mereka anggap sebagai teman ternyata sudah bergelut
dengan pekerjaan setelah pulang kuliah.
Hana
bergerak cepat mengganti pakaian renangnya dengan setelan kemeja putih lengan
pendek yang berenda pada bagian dadanya dan rok rempel selutut berwarna cokelat
muda, pakaian yang hari ini ia kenakan ke kampus. Gadis itu setiap ke kampus
selalu memakai pakaian semi resmi karena sepulang dari kampus harus langsung ke
perusahaan, tidak mungkin ‘kan ia datang ke perusahaan dengan menggunakan
pakaian yang seperti teman-temannya pakai, santai bahkan agak seksi. Meski
begitu, Hana yang memiliki tubuh jangkung dan ramping itu tetap terlihat modis
dengan gayanya, apalagi wajah Hana terbilang sangat cantik. Dan itu sudah cukup
membuat para pria di sekitar fakultasnya berbinar hanya karena melihatnya
berjalan, kecuali sepasang mata yang dimiliki oleh pria itu.
Hana’s
POV
Hari
ini lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri yang sejak awal menuruti keinginan
ayahku untuk mengambil jurusan manajemen bisnis. Jika saja aku mengikuti kata
hatiku untuk mengambil jurusan sastra, tentu ayahku tidak akan berani
menempatkanku sebagai direktur di usia yang bahkan masih di bawah umur tahun
lalu. Dan sekarang umurku 20 tahun, umur yang seharusnya kumanfaatkan untuk
bersenang-senang dengan teman seusiaku atau jika memungkinkan, pada usia ini
aku bisa sering berkencan dengan seorang pria di kampusku. Tetapi itu hanya
mimpi, aku sudah terjebak bahkan terkurung dalam dunia yang memuakan ini, dunia
bisnis yang di dalamnya banyak sekali terisi oleh binatang-binatang penuh
keserakahan.
Rasanya
sentuhan air di kolam renang tadi masih menempel di kulitku, dan itu sedikit
mampu menghilangkan keteganganku sebelum rapat dewan direksi itu dimulai.
Hobiku memang berenang, dan dibandingkan berenang di rumahku, aku lebih
menyukai berenang di kolam renang klub kampusku. Tadinya aku juga masuk klub
renang, tetapi karena kesibukanku membuatku terpaksa tidak mengikutinya, untung
saja aku kenal baik dengan pelatih renang di kampus ini sehingga aku selalu
dibolehkan untuk sekedar berenang di sana.
Aku
menyusuri koridor ini setelah keluar dari ruangan yang terdapat kolam renang
itu. Koridor ini sangat sepi karena kelas-kelas ini bukan kelas-kelas tempat
kami biasa belajar. Kelas-kelas ini khusus dibangun untuk ruangan klub-klub
yang ada di kampus, jadi sudah pasti sepi jika klub-klub itu tidak sedang ada
kegiatan seperti sekarang ini.
Aku
sudah terbiasa dengan suasana seperti ini dan berjalan dengan begitu tenang,
sebelum aku melihat pria itu, pria yang sebenarnya sudah sering berpapasan
denganku di koridor ini setelah aku selesai berenang. Wajahnya tegas dengan
tatapan mata yang selalu terlihat tajam dan dingin. Tubuh jangkungnya terlihat
begitu mendukung kepribadiannya yang menurutku sangat tertutup. Meski aku tidak
begitu mengenal pria itu, Lee Donghae, aku berani bertaruh bahwa pria itu
memiliki sifat tertutup dan tidak mudah akrab dengan orang lain.
Ngomong-ngomong
tentang Lee Donghae, sebenarnya aku tau nama itu dari wanita-wanita yang
berteriak histeris saat pria itu berlalu. Kadang aku heran, kenapa mereka tidak
tau malu dan berani menjatuhkan harga diri hanya untuk meneriaki seorang pria
yang belum tentu menyukai mereka. Cih, memalukan sekali!
Jarak
kami semakin dekat saat tiba di tengah-tengah koridor kelas ini, dan seperti
biasa pria itu tanpa rasa segan menatapku sangat tajam bahkan menurutku tatapan
matanya padaku akan berlipat-lipat lebih tajam dibandingkan tatapan matanya
pada objek lain. Aku tidak mengerti dengan Lee Donghae, mungkin ia tidak
mengerti sopan santun mengingat tatapannya yang seakan menelanjangiku,
tatapannya menjelajahi seluruh tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kakiku.
Ck, membuatku tidak nyaman saat berpapasan dengannya seperti ini.
Udara
menghempaskan aroma tubuhnya saat aku dan pria itu saling berlalu, aroma itu
menyeruak masuk ke indera penciumanku, membuatku sedikit bergidik setelah
mencium aroma tubuhnya yang wangi itu. Wangi? Ya, kurasa aku memang sudah
terbiasa mengenal wangi tubuhnya, tidak, lebih tepatnya wangi parfum yang ia
pakai karena kami sering berpapasan di koridor ini. Aku tidak tau apa yang
dilakukannya di dalam ruangan yang baru saja kutinggalkan, kupikir pria itu
adalah anggota klub renang.
Aku
sudah terbebas dari koridor tadi, menghirup udara khas kampus ini, mendapati
banyak pasang mata menatapku terpesona, sangat berbeda dengan tatapan pria di
koridor tadi. Tetapi ini bukan saatnya untukku terbuai oleh tatapan mereka, aku
harus bergegas menuju perusahaan ayahku untuk memimpin rapat dewan direksi yang
menyebalkan itu. Sebenarnya aku lelah, aku ingin sekali memberontak seperti
gadis remaja yang kabur dari rumahnya hanya karena dimarahi oleh orang tuanya.
Tetapi, kali ini aku tidak memiliki alasan untuk memberontak. Jika aku memberontak
hanya karena ingin hidup bebas tanpa harus mengurus perusahaan, bukankah itu
terlalu mengada-ada?
Akhirnya
aku sampai di depan pintu gerbang kampus yang berada di tengah Seoul ini. Aku
melirik jalanan, kanan dan kiri, aku berusaha menemukan taksi yang akan
membawaku ke perusahaan dengan waktu secepat mungkin karena rapat memuakan itu
akan dimulai setengah jam lagi dan waktu yang ditempuh dari kampus ini ke
perusahaan biasanya akan berlangsung 15 menit jika jalanan tidak macet.
Aku
melambaikan kedua tanganku ini saat kudapati taksi di seberang jalan sana dan
sangat menyebalkan saat supir taksi itu tidak menyadari keberadaanku dan hanya
pergi begitu saja. Kenapa taksi yang lewat hanya ada di jalan seberang? Ah, ini
sangat membuatku kesal. Jika saja Hyukjae Oppa tidak seenaknya meminjamkan
mobilku pada eonni genit itu, aku tidak mungkin sesengsara ini. Ah ya, aku lupa
mengatakan tentang kakakku. Aku memiliki seorang kakak bernama Lee Hyukjae,
lebih tepatnya kakak angkat. Hyukjae Oppa hadir di keluargaku saat aku berusia
tujuh tahun. Pria yang memiliki senyum khas itu diangkat oleh ayahku sebagai
anak saat kami berkunjung ke sebuah panti asuhan untuk melakukan kegiatan amal
perusahaan. Entah apa yang dipikirkan oleh ayahku saat itu, tiba-tiba saja ayahku
menghampiri seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar ke arahku.
FLASHBACK 13 YEARS AGO
“Kau menyukai puteriku?”
Anak laki-laki itu mengangguk bersemangat sebagai jawaban atas
pertanyaan dari ayahku. Senyumnya semakin lebar padaku setelah ayahku mengusap-usap
pucuk kepalanya lalu menggandeng lenganku untuk semakin mendekat ke arah anak
laki-laki itu.
“Ini puteriku, Kim Hana.” Kata ayahku memperkenalkanku pada anak
laki-laki yang sedang memeluk boneka monyet itu.
Awalnya aku merasa aneh dengan anak itu. Tatapan matanya begitu
hangat padaku dan juga senyuman itu selalu tersungging di bibirnya sejak tadi,
menampakkan gusi-gusi merah muda yang bagiku terlihat menggemaskan.
“Namaku Hyukjae, Lee Hyukjae. Namamu?”
Tangan mungil anak itu terulur padaku. Ada rasa hangat yang
menelusup ke dadaku saat tangan anak itu menunggu uluran tanganku. Kulihat
ayahku sejenak, dan kudapati wajah yang selama ini begitu tegas padaku terlihat
sangat lembut di hadapan anak yang bernama Lee Hyukjae ini. Aku tersenyum sejenak,
sepertinya tidak ada salahnya berkenalan dengan anak ini. Dan sama seperti anak
ini, aku rasa aku juga menyukainya-suka dalam arti tidak buruk untuk
berinteraksi dengannya.
Gigi-gigi teratur miliknya semakin melebar saat aku menerima uluran
tangannya dan menyebutkan nama yang telah orang tuaku berikan, “Hana, Kim
Hana.” Kuberitahukan namaku pada anak laki-laki murah senyum ini. “Senang
bertemu denganmu Hyukjae Oppa.” Lanjutku memanggilnya oppa, karena aku tau
benar dari postur tubuh dan wajahnya, anak ini jelas lebih tua dariku beberapa
tahun.
Selama kegiatan amal berlangsung, aku merasa cukup bosan. Aku keluar
dari aula panti asuhan. Aku merasa tidak nyaman dengan acara amal kali ini yang
dihadiri oleh puluhan wartawan. Kepopuleran ayahku di dunia bisnis memang patut
diacungi jempol, wartawan yang lebih mirip sebagai penguntit itu selalu saja
tau kegiatan-kegiatan ayahku meski kegiatan amal ini sebenarnya sudah
dirahasiakan oleh pihak perusahaan agar panti asuhan merasa nyaman tanpa ada
kehadiran wartawan yang akan memberondong mereka dengan berbagai macam
pertanyaan itu.
Aku bermain di taman panti asuhan ini. Dan tanpa sengaja mataku
menangkap sebuah objek yang menyita perhatianku. Objek yang beberapa menit lalu
memberikan rasa hangat di dalam dadaku. Lee Hyukjae, aku melihat Lee Hyukjae
bermain di taman ini sendirian.
“Oppa...”
“Hana-ya...”
“Apa yang kau lakukan di taman ini sendirian, Oppa?”
“Aku tidak sendirian, aku sedang bermain dengan boneka monyet ini.”
“Kenapa memainkan boneka monyet ini sendirian?”
“Karena hanya boneka monyet ini satu-satunya temanku.”
Aku terpaku mendengar jawaban dari Hyukjae Oppa, aku melihat
kesedihan tiba-tiba muncul dari wajahnya. Wajah ceria dan selalu tersenyum tadi
tidak lagi kulihat kali ini, yang ada hanya wajah muram dan menyedihkan. Aku
yang sejak tadi berdiri turut berjongkok untuk menyamakan posisiku dengan
Hyukjae Oppa, kutepuk bahunya, kuelus-elus juga pucuk kepalanya. Aku meniru apa
yang ayahku lakukan saat aku sedang menangis dan perlakuan itu setidaknya
sedikit membantu suasana hatiku saat aku menangis, kuharap Hyukjae Oppa juga
merasakan hal yang sama jika aku memperlakukannya seperti ini.
“Hana-ya, kajja, kita pulang...” Seru ayahku yang tiba-tiba datang,
sepertinya acara amal itu sudah selesai.
“Oppa, aku ingin menemanimu lebih lama lagi tapi aku harus pulang.
Kalau appa tidak sibuk, aku akan main ke sini lagi. Oppa jangan bersedih lagi,
arrachi?”
Hyukjae Oppa mengangguk sebagai jawaban atas ucapanku, ia juga
berusaha tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Aku menggandeng tangan
ayahku tanpa mengalihkan pandanganku dari Hyukjae Oppa.
“Hana-ya, kenapa kau tidak mengajak Hyukjae Oppa?”
Aku mendongakkan kepalaku, aku tidak mengerti maksud dari ucapan
ayahku itu. Mengajak Hyukjae Oppa? Mengajak ke rumahku?
“Hyukjae-ya, kemari.”
Tanpa menunggu lama lagi Hyukjae Oppa menghampiri ayahku, anak
laki-laki di hadapanku ini masih saja memeluk boneka monyet itu erat sambil
menunggu ucapan ayahku selanjutnya.
“Hyukjae, namamu Lee Hyukjae ‘kan?”
“Ye, Lee Hyukjae imnida.”
“Mulai sekarang panggil aku appa, dan ikut dengan kami ke rumah.”
“Appa...” Aku terkejut setelah mendengar ucapan ayahku yang
tiba-tiba itu. Ada perasaan aneh yang menyerang dadaku saat itu, perasaan yang
membuatku bahagia sekaligus bingung atas tindakan ayahku yang begitu mendadak
ini.
“Apa kau tidak suka?” tanya ayahku, kutatap wajah Hyukjae Oppa
menunduk, sepertinya ia tidak berani memandangku, entah apa yang sedang
dipikirkan olehnya. Aku terdiam sejenak menatapnya, memperhatikan raut wajah
yang membutuhkan perlindungan itu, wajah yang kurasa menyembunyikan kesedihan
dengan menutupinya oleh senyuman lebar itu. Ah, aku tidak sanggup menolaknya.
“Gwaenchana. Aku senang sekali jika ada anak laki-laki di rumah
kita, Appa.” Aku tersenyum lebar, berusaha meniru senyum lebar Hyukjae Oppa
padaku, berusaha menghibur anak laki-laki yang kurasa cukup tegang saat
menunggu jawabanku itu.
“Hana tidak keberatan, sekarang tergantung padamu Lee Hyukjae.”
“Aku mau ikut dan menjadi oppa untuk Hana, Ahjushi...”
Ayahku tersenyum setelah mendengar jawaban yang memuaskan dari
Hyukjae Oppa, “kalau kau mau, jangan panggil ahjushi, panggil appa...”
“Ye appa...”
FLASHBACK END
Sejak
saat itu aku dan Hyukjae Oppa tumbuh bersama sebagai kakak dan adik. Awalnya
aku tidak mengerti maksud ayahku mengadopsi seorang anak laki-laki, tetapi
baru-baru ini aku sadar, ayahku menghadirkan seorang pelindung dalam hidupku
karena ayahku sejak saat itu jarang sekali ada di rumah. Bisnis ayahku semakin
melebar bahkan ke beberapa negara di Asia. Jika tidak ada Hyukjae Oppa, mungkin
saat itu aku akan merasa sangat kesepian di rumah.
Itu
adalah sebagian masa kecilku dan Hyukjae Oppa yang cukup manis sebagai kakak
dan adik. Sebelumnya aku tidak pernah menyangka Hyukjae Oppa akan tumbuh
menjadi seorang pria yang tidak terduga. Ya, kukatakan tidak terduga karena
Hyukjae Oppa yang imut dan menggemaskan itu tumbuh menjadi pria dewasa bernama
Lee Hyukjae yang selalu tebar pesona pada gadis-gadis di perusahaan. Bukan itu
sebenarnya yang paling menyebalkan dari pria penyuka monyet itu, aku masih bisa
memaafkan perilaku playboy itu karena itu adalah hak mutlak seorang pria tetapi
aku masih tidak bisa memaafkannya saat setahun yang lalu dengan sangat
bijak-mungkin baginya-menolak tawaran ayahku padanya untuk menjadi direktur di
perusahaan. Hyukjae Oppa menolak dengan alasan bahwa aku lebih berhak, akan
merasa sangat terhormat jika dirinya hanya menjabat sebagai wakil direktur. Ck,
menyebalkan sekali.
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit...
Seorang
pria menarikku kasar ke tepi jalan saat sebuah mobil begitu cepat melaju ke
arahku yang menyeberang jalan sambil mengenang masa kecilku. Jika tangan kekar
itu tidak menarikku, aku tidak tau nasibku sekarang.
“Kau
pikir ini jalan nenek moyangmu??? Jangan ngebut di jalanan sepadat ini, kau
tidak bisa mengemudi??? Apa aku harus mengajarimu mengemudi??? Jangan karena
kau orang kaya dan memiliki mobil sialan ini, kau bisa seenaknya menggunakan
jalan semaumu!!”
Umpatan-umpatan
kasar pria itu sontak membuat si pengemudi mobil yang hampir menabrakku itu
terpaku, beberapa detik kemudian aku sudah mendengar rentetan ucapan maaf
terlontar dari si pengemudi mobil. Dan pria itu dengan begitu dingin tidak
menghiraukan ucapan maaf itu dan lebih memilih untuk menghampiriku.
***
Donghae’s
POV
Aku
tidak memikirkan apa-apa lagi saat kulihat gadis ceroboh itu tiba-tiba
menyeberang jalan raya untuk mengejar taksi di seberang jalan sana. Aku yang
sejak tadi bersandar di pohon yang berada di dasbor jalan ini dengan reflek
berlari ke arahnya karena tau ada mobil berkecapatan tinggi yang sedang melaju
ke arahnya. Kutarik lengan itu, kurangkul tubuhnya agar terhindar dari tabrakan
mobil itu. Kukorbankan tubuhku menyentuh aspal untuk melindungi tubuh gadis
bodoh ini agar tidak terluka. Dan aku merasakan sebuah benda tajam terasa
merobek kulit dan menembus dagingku cukup dalam pada bagian bahu kiriku.
Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt...
Beberapa
saat kemudian pengemudi sialan itu memanfaatkan fungsi rem pada mobilnya lalu
mundur sedikit dan mendongakkan kepalanya ke arahku dan gadis bodoh ini.
Bukankah seharusnya ia turun dulu untuk memastikan apakah nyawa kami masih
bersarang di raga kami? Cih, dasar orang kaya, tidak tau perasaan!
“Kau
pikir ini jalan nenek moyangmu??? Jangan ngebut di jalanan sepadat ini, kau
tidak bisa mengemudi??? Apa aku harus mengajarimu mengemudi??? Jangan karena
kau orang kaya dan memiliki mobil sialan ini, kau bisa seenaknya menggunakan
jalan semaumu!!”
Umpatan-umpatan
itu keluar dari mulutku, ada emosi yang meledak-ledak di dadaku. Kulihat
pengemudi itu hanya diam mematung di dalam mobilnya hingga kudengar ucapan maaf
darinya. Tetapi ucapan maaf itu tidak terlalu penting bagiku saat ini.
“Pergi!”
Kataku pelan. Aku melangkah meninggalkan orang itu dan secepatnya menghampiri
gadis bodoh yang masih tergeletak dengan menatapku dengan tatapan yang cukup
terkejut itu.
“Kau
mau bunuh diri??? Kau ini mau mati??? Atau jangan-jangan otakmu sudah tidak
berfungsi dengan baik??? Kalau kau mau bunuh diri jangan di tempat ramai seperti
ini, apalagi di hadapanku!!”
Wajah
gadis ini semakin terlihat pucat setelah aku membentaknya dengan sangat kasar.
Aku yakin gadis ini terkejut melihatku yang seperti ini. Aku sangat membenci
orang yang ceroboh, orang yang tidak berhati-hati dan tidak menjaga dengan baik
dirinya, seperti gadis di hadapanku ini.
“Kau,
sekali lagi kulihat kau ceroboh, aku...”
Seseorang
mengepal lenganku yang sedang menunjuk-nunjuk gadis ini, tangan kekar yang
semakin lama semakin erat menggenggam lenganku, tidak, lebih tepatnya
mencengkram lenganku. Tatapan mata orang ini berapi-api menatapku, ada nada
marah yang ia tahan di dalam matanya. Cih, jika marah ya marah saja, pukul aku
sekalian, jangan menahan amarah seperti pengecut!
“Oppa,
hentikan, orang ini yang menyelamatkanku.”
Sudah
kuduga, pria ini pasti mengenal gadis ceroboh itu. Mana mungkin ia bisa semarah
itu jika gadis yang tadi kubentak-bentak itu bukan orang yang dikenalnya.
“Gwaenchana?
Apa lukamu parah? Kita ke rumah sakit sekarang.”
“Gwaenchana,
tidak perlu oppa, ini hanya luka kecil.”
“Masuk
ke mobil, aku ingin bicara dengan orang ini dulu.”
“Oppa...”
“Aku
tidak akan berkelahi, kau pikir oppamu ini gengster?”
“Janji?”
“Ya,
oppa janji.”
Percakapan
yang terdengar begitu manis sekaligus memuakan di telingaku. Pria yang terlihat
menatapku dengan tatapan membunuh beberapa menit yang lalu berubah menjadi
seekor monyet yang begitu manis di hadapan seorang gadis, begitu memalukan!
“Kita
perlu bicara.”
“Silahkan.”
Balasku ketus.
Aku
tau pria ini masih sedikit kesal padaku, aku juga tau bahwa pria ini
benar-benar tidak menyukaiku karena perlakuanku tadi. Tetapi aku juga yakin
bahwa pria ini sangat berterimakasih padaku, menganggapku pahlawan yang telah menyelamatkan
nyawa seorang tuan puteri dan mencegah timbulnya rasa bersalah seorang pangeran
karena tidak bisa melindungi sang tuan puteri.
“Maafkan
aku, dan terimakasih kau telah menyelamatkan adikku.”
“Adikmu?”
Ucapan
itu keluar begitu saja dari mulutku, seakan hatiku mendesak otakku untuk
mengucapkan kata itu melalui inderaku.
“Dia
Kim Hana, adikku. Dan kenalkan, namaku...”
“Tidak
perlu, seakan kita akan saling bertemu lagi di kemudian hari. Kita tidak perlu
berkenalan karena itu tidak penting. Lebih baik kau jaga adikmu yang ceroboh dan
bodoh itu, ajari gadis itu cara menyeberang jalan dengan baik!”
Aku
langsung memunggunginya lalu pergi dari dasbor jalan dekat gerbang kampus ini.
Ah, kejadian tadi membuat suasana hatiku yang tenang mendadak rusak. Dan aku
paling benci dengan sifatku ini, aku benci pada orang yang ceroboh tetapi aku
selalu tidak bisa diam saat melihat kecerobohan seseorang. Seperti yang terjadi
barusan, tanpa pikir panjang aku menyelamatkan gadis ceroboh itu, gadis yang
bahkan tak pernah bertegur sapa denganku meski kami sering bertemu di koridor
kelas itu.
Aku
memutuskan untuk berjalan saja menuju kafe tempatku bekerja daripada aku
menunggu koki amatir yang tak pernah tepat waktu itu menjemputku. Bisa-bisa aku
menemui banyak kecerobohan jika aku terus menunggunya di tempat tadi. Akh, aku
baru sadar dengan luka robek pada bahu kiriku yang menghantam pecahan botol di
dasbor jalan tadi.
“Hyung...”
Suara
itu, suara yang tiba-tiba membuat emosiku kembali memuncak hampir sampai ke
ubun-ubun. Bagaimana mungkin bocah itu dengan tanpa rasa bersalah memanggilku
setenang dan seceria itu?
“Hyung,
kau sedang olahraga?”
“Yak,
Kim Ryeowook!! Kau tidak bisa tepat waktu sedikit saja?”
Aku
langsung membuka pintu mobil itu, duduk dengan dada naik turun, aku memang
begini, terkadang aku sampai meluap-luap hanya karena hal yang sepele. Tetapi
bocah SMA yang sekarang sedang mengemudikan mobil ini selalu tenang dan santai
menghadapiku.
“Hyung,
apa kau berkelahi lagi? Siapa? Siapa orang yang baru saja menghajarmu sampai
kau berdarah seperti itu?”
“Apa
kau mau kuhajar juga?”
“Aku
akan menuntutmu.”
“Yak,
orang kaya memang sama saja.”
“Tidak
hyung, kau tau aku berbeda.”
Aku
terdiam, mengiyakan apa yang baru saja bocah ini katakan. Memang benar, bocah
ini tidak seperti kebanyakan orang kaya yang manja dan menghambur-hamburkan
uang orang tuanya. Ryeowook bahkan melakukan pekerjaan paruh waktu di kafe yang
sama denganku setelah ia pulang sekolah, padahal bocah ini adalah putera
seorang pengusaha, tetapi sifat rendah hatinya terlalu berlebihan, bahkan bocah
ini menganggapku lebih pantas dihormati dibanding dirinya karena faktor usia
yang berbeda diantara kami.
“Katakan
hyung, kau sedang ada masalah?”
“Kau
cerewet sekali.”
“Arraseo,
pasti benar, kau sampai berkelahi dengan orang seperti itu. Aku tidak akan
bertanya lagi.”
“Aku
tidak berkelahi!”
“Kita
ke klinik dulu untuk menjahit lukamu itu, Hyung.”
Jalanan
Seoul di jam istirahat seperti sekarang ini benar-benar padat dan membuatku
sangat tidak nyaman berada di dalam mobil. Sebenarnya ia kemanakan uang dari
ayahnya sampai-sampai AC mobilnya tidak berfungsi dengan baik?
“Mianhae
hyung, aku malas merawat mobil ini, AC belum sempat kuperbaiki.”
Bocah
ini pasti tau apa yang ada dalam pikiranku dengan melihat wajahku yang penuh
keringat ini, “tidak apa-apa, hatiku lebih panas lagi saat mengalami kejadian
tadi.”
“De?”
“Tidak,
menyetir saja dengan benar!”
***
Hyukjae’s
POV
Bagiku
tidak apa melanggar pesan ayah sekali ini saja. Aku melajukan mobil ini menuju
rumah sakit, aku bukan seorang kakak kejam yang tega membawa adiknya ke ruang
rapat itu dalam keadaan tubuhnya yang terluka seperti sekarang ini.
“Oppa,
ini bukan...”
“Diam
saja, paling tidak kau harus mendapat perawatan. Kau diam saja di rumah sakit,
biar oppa yang menggantikanmu memimpin rapat itu. Bukankah kali ini jabatan
oppa sebagai wakil direktur menjadi terpakai?”
“Mianhae
oppa, aku merepotkanmu.”
“Yak,
tidak usah berpura-pura merasa bersalah. Oppa tau kau sering mengutuk oppa
karena jabatanmu itu, benar?”
“Nde...”
Sesuai
dugaanku selama ini. Gadis ini pasti sangat kesal padaku yang menolak tawaran
dari ayah untuk menjabat sebagai direktur. Aku tidak bermaksud mengecewakan
ayah atau menjadi anak yang tidak bisa dipercaya, tetapi aku hanya merasa tidak
pantas mendapat jabatan setinggi itu jika mengingat siapa aku sebenarnya.
Kenapa harus aku sedangkan anak kandung ayahku ada dan kurasa sangat mampu. Aku
bukan kejam terhadap adikku ini, aku hanya ingin Hana tumbuh menjadi gadis yang
cerdas dan berpengalaman sejak dini mengingat persaingan di luar maupun di
dalam perusahaan sangat mengerikan.
“Oppa,
apa yang kalian bicarakan tadi?”
“De?”
“Kalian
membicarakan apa? Kenapa pembicaraan kalian terlihat seperti tidak
menyenangkan?”
“Oppa
hanya meminta maaf atas perlakuan kasar oppa sebelumnya dan juga berterimakasih
karena dia telah menyelamatkanmu.”
“Itu
saja?”
“Ya,
itu saja. Kenapa?”
“Tidak
apa-apa, Oppa.”
Aku
tau bahwa Hana penasaran sekali dengan pembicaraanku dengan orang itu. Tapi
tidak mungkin aku memberitahukan Hana bahwa orang itu mengatainya gadis bodoh
dan ceroboh, bisa-bisa emosi Hana memuncak. Gadis ini terlalu susah
dikendalikan jika berada dalam keadaan normal. Hanya saat ini aku merasa dunia
sedang sepi karena gadis ini tidak terlalu banyak bicara. Jika tidak sedang
shock karena kejadian tadi, sudah pasti berbagai umpatan pada kakaknya keluar
dari tadi.
“Aku
kesal pada pria itu. Ya, aku memang sangat berterimakasih atas pertolongannya
yang mengejutkan itu. Tapi tetap saja, apa harus dengan cara seperti itu dia
menolongku??? Apa dia tidak melihat aku begitu terkejut gara-gara mobil itu???
Apa dia sama sekali tidak kasihan padaku??? Cih, dasar pria dingin, aneh,
kejam, psikopat!!!”
Mulai,
ini sudah dimulai, sifat asli seorang Kim Hana kembali muncul ke permukaan.
Keterkejutan atas peristiwa tadi sepertinya sudah sedikit menghilang darinya,
terbukti dengan ocehan-ocehan yang begitu saja ia ucapkan tentang orang itu.
“Awas
kau Lee Donghae, jika aku bertemu lagi denganmu, mati kau!! Dasar pria berdarah
dingin, menyebalkan!!!”
“Lee
Donghae? Kau kenal dengan orang itu?”
“Aku
akan menjadi gadis yang paling bodoh jika tidak mengenal orang sepopuler dia.
Pria itu sangat terkenal, Oppa. Dia banyak disukai gadis-gadis di kampus, tapi
sedikitpun aku tidak menyukainya, apa yang patut disukai dari pria sedingin
itu? Membayangkannya saja aku sudah muak! Lee Donghae, Sejam yang lalu aku
tidak begitu membencimu, tapi sekarang aku akan menjadi orang terdepan yang
paling membencimu!!”
“Yak,
sudah cukup kau membicarakan pria bernama Lee Donghae itu, kau cukup
membicarakan pria bernama Lee Hyukjae ini.”
“Ck,
untuk apa aku membicarakan orang yang ada di dekatku, Oppa? Dasar monyet
jelek!”
“Yak...!”
“Cepat
sedikit, Oppa. Sikuku sangat perih.”
“Yak,
kau bilang tadi tidak apa-apa. Sakitnya baru terasa sekarang hum?”
“Oppa,
padahal aku jatuh di atas tubuhnya. Apa dia baik-baik saja?”
“Kau
membicarakan pria itu lagi Kim Hana? Sudahlah, pria itu sepertinya terlihat
kuat.”
***
Author’s
POV
2
Days Later
“Lee
Donghae, Lee Donghae, Lee Donghae...”
Hana
bergidik ngeri melihat gadis-gadis itu berteriak histeris saat seorang Lee
Donghae beradu lari dengan seorang mahasiswa jurusan olahraga di partai final.
Kulihat mata mereka berbinar saat pria menyebalkan itu berhasil menyalip lawannya,
dan hanya selang beberapa detik kemudian pria itu berhasil mencapai garis
finish. Gadis-gadis itu bersorak gembira, saling berpelukan setelah tau bahwa
jagoan mereka memenangkan nomor balap lari pada pekan olahraga antar jurusan
ini. Lomba lari putera dimenangi oleh jurusan matematika yang diwakili oleh Lee
Donghae, sedangkan partai final untuk tingkat puteri baru akan dimulai beberapa
menit lagi.
Hana
masih saja memperhatikan gadis-gadis yang menurutnya sudah gila itu. Bagaimana
mungkin mereka mengidolakan seorang Lee Donghae yang bahkan tidak tersenyum
sedikitpun setelah memenangi pertandingan itu. Paling tidak, normalnya pria itu
harus high five atau berpelukan dengan rekan-rekannya yang menyemangatinya di
pinggir lapangan atau jika itu terlalu berat baginya, ia cukup memberikan
senyum pada mereka karena telah rela menghabiskan suara untuk mendukungnya.
Dasar pria aneh!
“15
menit lagi pertandingan balap lari final puteri akan mempertemukan jurusan
matematika dengan jurusan manajemen bisnis. Untuk wakil dari masing-masing jurusan
yaitu Choi Jiwon dari jurusan matematika dan Kim Hana dari jurusan manajemen
bisnis, harap mempersiapkan diri.”
Lapangan
yang sangat luas itu tiba-tiba saja semakin panas bagi Hana setelah ia
mendengar bahwa namanya disebut untuk mempersiapkan diri. Gadis itu cukup gugup
sejak seminggu yang lalu, gugup saat tau bahwa dirinya menjadi wakil jurusan
sebagai pelari dan gugup saat beberapa jam yang lalu ia berhasil menyingkirkan
lawan-lawannya dan melaju ke final untuk menantang jurusan matematika yang terkenal
sangat hebat dalam bidang atletik bahkan jurusan olahraga sendiri masih di
bawah mereka dalam bidang atletik. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang
meski ia belum berlari, sesaat ia memandang kakinya yang masih lebam akibat
kejadian dua hari yang lalu dan bertambah parah setelah berlari di partai
sebelumnya beberapa jam yang lalu. Kakaknya sudah melarangnya agar mengundurkan
diri, tetapi gadis ceroboh itu tidak mendengar apa yang sudah disuruh oleh
kakaknya. Baginya anti menyerah sebelum berperang!
Lee
Donghae yang baru saja meneguk air minum di pinggir lapangan seberang sana
menatap ke arah Hana, Hana juga tau bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh
sosok menyebalkan itu, sosok yang selalu menatapnya dengan tatapan tajam yang seakan
ingin menerkam dirinya. Donghae menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
menyunggingkan senyum miring pada Hana. Senyum? Ya, ini kali pertama Hana
melihat senyum pria itu, bukan senyum manis bagi Hana, itu lebih tepat seperti
senyum yang merendahkan dan meremehkan Hana.
Waktu
pertandingan dimulai. Hana bangkit, bersiap di posisi start bersebelahan dengan
Jiwon. Hal pertama yang Hana lakukan adalah berdoa. Ya, hanya itu yang ia bisa
lakukan mengingat betapa gugupnya ia saat ini, apalagi tatapan tajam dari pria
menyebalkan itu terus tertuju padanya.
“Apa
kau sedang berdoa agar memenangkan pertandingan ini Nona Kim?”
“Shhhh,
apa aku terlihat seperti sedang mendoakanmu? Pertanyaan bodoh!”
“Dasar
dada rata!”
“Mwo???!!
Kau, kau Choi Jiwon!!!”
“Lihat,
aku akan menunjukkan pesonaku saat aku berlari. Kau boleh saja cantik, tapi
mereka akan mengabaikan kecantikanmu hanya karena aku. Bahkan jika aku kalah,
aku tetap akan mendapat sorak dari mereka. Tapi kau? Menang juga belum tentu
akan mendapatkan hal seperti itu.”
“Cih,
dasar gadis mesum! Kau pikir semua pria menyukai dada sepertimu?”
“Yak,
apa yang kalian lakukan? Bersiaplah! Ready... Go...!!!”
Hana
dan Jiwon berlari setelah kode yang diucapkan oleh Dosen Han, dosen yang
bertanggungjawab atas pertandingan nomor balap antar jurusan itu. Baik Dosen
Han ataupun semua yang hadir di tempat itu, mereka berteriak memberikan
semangat pada masing-masing ‘atlet dadakan’ yang mereka dukung. Benar saja, apa
yang dikatakan Jiwon sebelumnya. Selama ini, saat Hana berjalan di lingkungan
fakultasnya, semua pria selalu memperhatikannya kecuali seorang Lee Donghae
yang dingin itu-yang menatapnya dengan tajam dan tidak bersahabat. Tetapi, pada
pertandingan kali ini ketika dirinya harus berbaur dengan semua fakultas dan
jurusan yang ada di kampusnya, ia baru menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Choi
Jiwon, teman yang dulu sempat satu SMA dengannya justru lebih populer. Gadis
itu tidak secantik Hana, tetapi gadis itu memiliki tubuh bagaikan seorang model
profesional, lekuk tubuh yang menggoda dan tentu dada yang jauh lebih menonjol
dibanding Hana. Pria mana yang tidak suka? Astaga, Hana yang tidak fokus
berlari, ia justru baru menyadari bahwa hari ini terjadi lagi suatu kejadian
langka. Saat orang-orang memperhatikannya di lingkungan fakultas tempat ia belajar,
hanya pria itu yang mengabaikannya, tetapi sekarang, saat mereka berpaling dan
mengabaikannya justru hanya pria itu yang menatapnya hingga tak bergeming, pria
bernama Lee Donghae itu sejak tadi memperhatikannya.
“Choi
Jiwon, Choi Jiwon, Choi Jiwon...”
“Kim
Hana, Kim Hana, Kim Hana...”
Setidaknya
teman-teman sekelas Hana masih ada yang memberinya semangat. Ternyata tidak
semua orang yang baik padanya itu tulus, tidak semua orang yang menyapanya itu
benar-benar tulus ingin menyapa. Di tempat ini ia baru saja mengetahui bahwa
senyum-senyum yang selama ini tertuju padanya hanya sebuah nafsu belaka dari
pria-pria hidung belang itu. Ck, dalam hati gadis itu berharap bahwa kakaknya
meski playboy, Lee Hyukjae tidak seburuk playboy-playboy di kampusnya.
“Akkkhhhh.”
Hana
meringis saat menyadari kakinya yang masih belum pulih itu terasa semakin
sakit. Tapi bukan Hana namanya jika gadis itu berhenti di tengah pertandingan
seperti ini, gadis itu terus menahan rasa sakitnya dan berusaha untuk mendekati
Jiwon yang hanya beberapa langkah kaki saja di depannya.
“Aku
harus bisa, aku tidak ingin kalah dari gadis menyebalkan itu!”
Hana
berlari semakin kencang, ia menyingkirkan segala rasa sakit itu seketika, gadis
yang sebenarnya sangat ambisius itu begitu saja menyalip Jiwon dan membuat
banyak pasang mata tercengang menyaksikan kegigihannya. Mereka terpukau, Dosen
Han, teman sekelas dan teman yang satu jurusan dengannya kali ini bungkam
terbawa arus ketegangan Hana yang berlari semakin cepat dengan wajah yang
semakin pucat namun sangat gigih itu, kecuali Lee Donghae. Donghae justru
meringis menyaksikan ulah gadis ceroboh itu, ada rasa kesal yang mendesak
keluar dari dalam dadanya, rasa kesal pada gadis ceroboh yang lagi-lagi
membahayakan dirinya sendiri itu.
“Kau
rupanya ngotot ingin menang Nona Kim!”
“Sudah
kubilang, aku tidak akan kalah denganmu buah melon!”
“Mwo???
Apa kau bilang??? Melon!!! Sialan, awas kau!!!”
Bagai
terprovokasi oleh ucapan Hana, gadis yang paling dibenci Jiwon sejak dulu. Jiwon
berlari sama gigih dan berusaha menempel Hana, tapi Hana yang tak menyerah itu
belum bisa dikejar olehnya hingga pikiran jahat itu berkelebat dalam benak
gadis bermarga Cho itu.
BRUUUKKKK
“Hanaaaaaaaaa...”
Pekikan
itu berasal dari teman-teman dekat Hana yang menonton dari pinggir lapangan.
Semua diam terpaku menyaksikan tubuh Hana yang terkapar di tengah lapangan,
bahkan saat Jiwon sampai di garis finish, tidak ada seorangpun yang bersorak
untuk gadis jahat itu.
“Akkkkkhhhhhhhhh...”
“Kim
Hana.........!!!!!”
Lee
Donghae, hanya pria dingin itu yang langsung berlari menghampiri Hana ke tengah
lapangan tanpa mengalihkan tatapannya pada gadis bodoh yang sedang menggelepar-gelepar
itu.
“Apa
yang kau lakukan? Lepaskan aku!!”
“Diam
bodoh, kau mau bunuh diri di hadapanku untuk yang kedua kalinya hah?”
Donghae
menggendong Hana ke pinggir lapangan, pria dingin itu berjalan menuju Dosen Han
dengan tatapan yang benar-benar berkilat.
“Kau
harus menghukum gadis mengerikan itu, Sem!”
Tak
harus menunggu jawaban dari Dosen Han, Donghae langsung menjauhi lapangan. Berlari
kecil sambil menahan beban yang ada dalam gendongannya.
“Hyung,
apa kau menang?”
“Ah
kau Wookie-ah, kebetulan sekali kau datang.”
“Aku
membolos sekolah hanya demi melihatmu, Hyung. Tapi sepertinya aku terlambat.”
“Tidak
ada waktu untuk mendengarkan ocehanmu. Bawa aku ke rumah sakit!”
“Gadis
ini terluka, Hyung? Siapa dia?”
“Sudah
kubilang tidak ada waktu untuk mengoceh!”
Ryeowook
yang datang tepat waktu itu langsung mengantarkan Donghae dan Hana ke rumah
sakit. Tidak ada penolakan lagi dari gadis itu saat ia melihat Donghae meminta
Ryeowook mengantarnya ke rumah sakit, ada kesungguhan yang terlihat di dalam
ucapan itu dan itu sudah cukup membuat Hana pasrah.
“Gomawo,
kau menyelamatkanku lagi.”
“Kita
belum sampai di rumah sakit, kau belum tentu selamat.” Kata Donghae dengan
intonasi dan mimik wajah yang dingin.
“Tetap
saja, aku sangat berterimakasih.”
“Diam!
Tidak ada gunanya mengoceh!”
“Yak,
tidak bisakah kau sedikit bicara lembut padaku?”
“Bicara
lembut padamu? Sepertinya tidak mungkin mengingat kau adalah orang yang sangat
ceroboh.”
“Lee
Donghae, namamu Lee Donghae ‘kan? Meski aku sangat membencimu, aku tetap
berterimakasih....”
“Berhenti
bicara, wajahmu pucat, kau bisa pingsan. Dasar gadis ceroboh!”
Benar
saja dengan apa yang Donghae katakan. Hana tak sadarkan diri setelah itu,
untung saja mereka sudah sampai di rumah sakit dan sudah menyerahkan Hana untuk
ditangani oleh dokter.
“Noona
itu, apa dia yang membuatmu kesal tempo hari, Hyung? Dia yang kau perebutkan
dengan pria yang membuatmu berdarah ‘kan, Hyung?”
“Diam
kau! Hentikan imajinasi liarmu!”
“Kau
menyukainya?”
“Tidak,
apa alasanku menyukai gadis seperti itu? Gadis itu sudah dua kali membahayakan
dirinya di depan mataku, apa aku harus berdiam diri saja?”
“Kalau
aku jadi kau, aku juga akan menolongnya, Hyung.” Ryeowook mengiyakan ucapan
Donghae. Benar juga, menurutnya Donghae yang dingin itu sebenarnya memiliki
hati yang hangat. Donghae tidak akan berdiam diri melihat orang lain menderita
di hadapannya.
“Hyung,
kau sudah menghubungi keluarganya?”
Hyukjae’s
POV
Aku
sedang membuat beberapa laporan yang seharusnya Hana kerjakan saat ponselku
berdering. Ah, siapa yang menghubungiku disaat kepalaku dibuat pusing begini
oleh pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh gadis itu?
“Monyet,
kau kakaknya Hana? Aku menghubungi nomor ini karena tertulis Monyet Oppa di
kontak ponsel Hana, kupikir kau orang yang waktu itu. Adikmu, adikmu ada di
rumah sakit, cepat ke sini dan jaga adikmu yang ceroboh ini!”
Aku
langsung mematikan komputer di meja kerjaku tanpa prosedur semestinya, persetan
laporan yang setengah kukerjakan itu sudah tersimpan atau belum. Pikiranku
hanya terfokus pada Hana. Di rumah sakit? Baru dua hari yang lalu aku
membawanya ke rumah sakit, dan sekarang gadis itu kembali lagi ke sana? Dan
kenapa Hana harus di rumah sakit dengan pria itu. Ya, aku masih ingat suara
dingin pria yang menyelamatkan Hana dua hari yang lalu, kenapa Hana terlibat
lagi dengan pria itu?
***
Kudapati
tubuh mungil adikku di dalam kamar rawat rumah sakit ini, sendirian. Kudekati
tubuh yang terlihat sangat lelah itu. Aku tidak tau apa yang terjadi dengan
adikku ini, yang kutau hanyalah rasa sakit yang tiba-tiba menyerang dadaku saat
melihatnya seperti ini. Mungkin karena aku dibesarkan bersama dengannya dan
mengingat betapa manjanya gadis ini. Hana pasti sangat kesakitan hingga ia bisa
tak sadarkan diri seperti ini.
“Kau
sudah datang rupanya...”
Aku
menoleh saat suara itu sampai ke pendengaranku. Bisa-bisanya dia berucap dengan
nada bicara setenang itu. Pria ini pasti penyebab segala kemalangan yang
diderita Hana kali ini. Aku tidak akan memaafkannya, dari awal aku memang sudah
melihat bahwa pria ini membawa pengaruh buruk untuk adikku.
Aku
bangkit menghampirinya yang berdiri di ambang pintu. Setelah sangat dekat
dengannya, kucengkeram kaus olahraga yang berkerah itu dan menghimpit tubuhnya
hingga menyentuh dinding kamar rawat ini.
“Brengsek!!
Berani-beraninya kau memperlakukanku seperti ini!” ucapnya yang terlihat ingin
segera membalasku.
“Kau
brengsek!! Kau apakan adikku? Terakhir kali aku mendapati adikku terluka saat
ada kau di sana, dan sekarang dia di rumah sakit juga denganmu, aku jadi ragu
saat itu apa benar kau menyelamatkan adikku hahh??”
“Apa
peduliku kau percaya atau tidak padaku??”
“Paling
tidak katakan padaku, apa yang terjadi??”
“Tanya
saja pada adikmu yang ceroboh dan bodoh itu! Kau akan lebih percaya padanya
daripada mendengar jawabanku ‘kan??” jawabnya dan sukses membuat amarahku
semakin memuncak.
“Brengsek
kau!!”
Aku
semakin menekannya ke dinding, tidak peduli pria brengsek ini meringis
kesakitan atas perlakuanku. Kedua tangannya meraih tanganku dan berusaha
melepaskan cengkeramannku pada lehernya.
“Lepaskan,
atau akan kubuat kau menyesal sekarang juga!”
“Cih,
aku harus memberikan pelajaran dulu padamu!”
“Akkkhhhh...”
Wajahnya semakin meringis, aku tidak tau bahwa cengkeramanku pada kerahnya yang
membuatnya terhimpit ke dinding ini bisa begitu menyakitkan baginya hingga ia
meringis begitu. Apa pria ini tidak sekuat yang terlihat? Apa hanya ucapan dan
tatapan matanya saja yang tajam?
“Oppa...”
“Hana-ya,
kau sudah sadar?”
“Lepaskan
dia, Oppa!”
Hana
beranjak dari tempat tidurnya, mencabut selang infus yang menopang tubuhnya,
menghampiriku dan menyentuh tanganku. Kedua sorot matanya menyuruhku untuk
melepaskan cengkeraman tanganku pada pria yang kesakitan ini.
“Lepaskan
dia, Oppa. Kau tidak seharusnya memperlakukannya dengan buruk seperti ini, Dia
menyelamatkanku lagi.”
“Menyelamatkanmu?”
Aku
melepas cengkeramanku pada kerah kaus olahraganya. Ada rasa penyesalan dalam
diriku karena tidak bisa mengendalikan emosiku yang meluap-luap tadi.
“Mianhae
Donghae-ssi, maafkan juga oppaku.”
“Sudahlah,
aku pergi!”
Pria
bernama Donghae itu menjauhkan tubuhku dari hadapannya dengan sedikit dorongan,
tanpa menatap wajahku ia pergi dari tempat ini. Dan orang itu menyuguhkan pemandangan
yang sungguh semakin menambah rasa penyesalanku atas perilaku buruk yang baru
saja kulakukan. Kulihat kaus olahraga berwarna biru cerah itu telah ternoda oleh
banyak darah, dan aku cukup mengerti kenapa Donghae begitu kesakitan hanya
karena himpitan yang kulakukan padanya ke dinding kamar rawat ini, rupanya pria
itu sedang terluka dan aku semakin memperburuk luka yang ia alami. Lee Hyukjae,
kau sangat keterlaluan.
“Donghae-ssi...”
Hana
yang masih lemah itu berjalan mengejar langkah pria itu, gadis itu bahkan
berjalan dengan memegangi dinding, sangat gigih meski punggung itu semakin
menjauh darinya.
“Donghae-ssi.......!”
Hana memanggil pria itu lebih keras dari sebelumnya, ia bangkit lagi, meski
akhirnya ia kembali terjatuh akibat keadaan fisiknya yang masih lemah karena
memaksakan diri saat pertandingan lari di kampus tadi.
“Hana-ya...”
Hyukjae perlahan mendekati gadis itu. Belum sampai ia di tempat Hana terjatuh,
ia menghentikan langkahnya tiba-tiba saat gadis itu lagi-lagi kembali bangkit.
“Yak!
Lee Donghaeeeeeeeeeeeee....!!!”
Hyukjae
terkejut mendengar bentakan Hana pada sosok dingin yang sudah cukup jauh itu,
begitu juga dengan sosok dingin itu.
“Yak,
apa kau ingin bunuh diri di hadapanku Lee Donghae????” Kata Hana kembali
membentak pria itu. Donghae bagai tersambar petir berkekuatan ringan saat ia
mendengar ucapan Hana yang menirunya.
Donghae
membalikkan tubuhnya, dan kini mereka berdua sudah saling menatap. Donghae
masih terpaku di tempat saat mendapati gadis yang sudah dua kali ia selamatkan
itu berdiri dengan sangat menyedihkan.
“Kau
mau mati? Apa kau pria yang benar-benar ceroboh atau otakmu sudah tidak
berfungsi dengan benar?”
Mata
gadis itu mulai memanas menandakan cairan bening itu mendesak ingin segera
menodai pipi mulusnya. Donghae tidak tahan dengan pemandangan itu dan tidak
akan membiarkan makhluk lemah itu menangis di hadapannya hanya karena darah.
Ya, darah. Donghae tau bahwa gadis itu menangis karena ia melihat begitu banyak
darah yang keluar dari bahunya karena rusaknya jahitan luka di bahu itu akibat
menghantam pecahan botol di dasbor jalan saat ia menyelamatkan gadis itu dari
tabrakan mobil dua hari yang lalu.
Ada
degupan yang tidak bisa diterjemahkan langsung saat sosok dingin itu berjalan
ke arah Hana dan juga ada rasa panas yang tidak pernah dirasakan sebelumnya
oleh Hyukjae saat pria lain mendekati Hana, dan pria dingin bernama Lee Donghae
itu cukup membuat Hyukjae merasa tersingkir sementara waktu. Di sisi lain
Hyukjae juga khawatir saat pria itu semakin mendekati adiknya setelah Hana
mengucapkan kata-kata kasar tadi, ia takut Donghae murka dan melakukan hal yang
buruk pada adiknya. Tetapi lagi-lagi dugaan Hyukjae salah terhadap Donghae.
***
TO BE CONTINUE
Hahahaha, ga akan banyak omong. Kira-kira apa yang akan dilakukan Donghae pas udah deketin Hana ya????
