Senin, 22 Februari 2016

THE SECRET REASON TO GO



Title : The Secret Reason to Go
Cast : Lee Min Ho, Yoon Ha Na (OC), Etc.
Author :  Covi Kim

Ciyeeee ada yang ultah, ada yang umurnya bertambah XD
Happy birthday Thilmaa, maaf telat ya ucapinnya hehehe.. ka baru ngeuh pas tadi buka fb. Buat ultah thilmaa ka kasih ff dadakan ini ya. Semoga suka ^^



Happy Reading :D


***





Begitu mudah mencintaimu dalam hitungan detik dan menjadikanmu sebagai objek kerinduan tiba-tiba, lantas kau mengakhiri sebelum benar-benar memulai dan menyuruhku untuk terus mencintaimu meski aku dalam pelukan cinta yang lain? Apa itu tidak terlalu egois, Lee Min Ho?
−Yoon Ha Na−



***


Teriakannya memecah keheningan. Burung-burung gereja yang sedang bertengger di tiang listrik pun berhamburan tak lagi berkoloni. Beberapa mata tertuju pada sumber teriakan itu.

“Hentikan, kenapa kalian tidak berhenti menggangguku?” kata seorang gadis yang baru saja berteriak itu, 
“Apa mau kalian sebenarnya?” sambungnya sambil menatap ngeri seekor kadal yang sedang diacungkan di hadapan wajahnya.

“Kau terlalu menggemaskan Yoon Ha Na.” Jawab pria yang memegang kadal itu sambil memamerkan senyum nakalnya.

“Selipkan saja ke dalam bajunya.” Kata teman si pria pemegang kadal antusias.

“Benar, selipkan saja sekarang. Lagipula ini sudah hampir petang. Kita harus menyaksikan reaksinya sebelum matahari terbenam.” Sambung orang terakhir dari ketiga pria jahil itu tak sabar.

Gadis itu semakin terpojok. Tubuh mungilnya kini sudah menghimpit ke tembok pagar jalan yang sepi itu. Percuma saja ia berteriak seperti tadi karena kawasan itu bukan kawasan pemukiman. Di sana hanya ada bangunan-bangunan tempat orang-orang mengerjakan industri kecil. Dan mereka sudah menyelesaikan aktivitasnya satu jam yang lalu. Sekarang kawasan itu adalah tempat yang sangat sepi meski malam belum tiba.

“Ayolah tepung terigu, aku heran kenapa para gadis membenci hewan ini?” ucap pria pemegang kadal itu. Kali ini ia semakin mendekatkan si kadal pada gadis itu. Sedangkan kedua temannya memegangi gadis itu yang mencoba untuk berontak. Tapi sia-sia bagi gadis itu karena kekuatannya tidak mampu menandingi kekuatan pria-pria nakal itu.

“Namaku bukan tepung terigu, aku Yoon Ha Na. Apa yang kalian mau supaya aku tidak selalu diganggu? Jika kalian ingin aku mengerjakan tugas-tugas sekolah kalian, aku mau. Tapi tolong singkirkan kadal itu dariku! Jai, Hoon, Yoong, kumohon!” kata gadis bernama Yoon Ha Na itu, Ha Na yang setiap hari diganggu ketiga pria itu tak tahu lagi harus bagaimana. Kedua matanya semakin terpejam, tubuhnya gemetar, ia sangat ketakutan membayangkan beberapa detik lagi kadal itu akan bersentuhan dengan kulitnya.

“Siapa peduli dengan namamu, bagi kami kau adalah tepung terigu. Ibumu suka mengaduk-aduk tepung terigu ‘kan?” kata Jai mencela.

“Kumohon, siapa pun tolong aku. Aku mohon.” Ha Na terus berucap seperti itu di dalam hatinya. Ia tiba-tiba teringat ucapan ayahnya saat ia masih kecil dulu.

“jika kita sedang ada masalah dan tidak bisa apa-apa lagi sedangkan kita sudah berusaha semampu kita maka berdoa adalah jalan satu-satunya yang harus kita lakukan karena Tuhan tidak pernah tidur dan Tuhan akan selalu mendengar doa manusia yang bersungguh-sungguh.”

Ucapan itu benar-benar diyakini Ha Na. Mungkin bagi kebanyakan orang, seekor kadal kecil bukanlah masalah besar. Tapi menurut gadis itu, kadal atau hewan melata lainnya benar-benar membuatnya takut.

“Apa kalian tidak malu menyakiti wanita seperti itu?”

Ha Na dan ketiga pria nakal itu langsung menatap ke arah suara itu berasal. Seorang pria dengan seragam sekolah yang berbeda dengan mereka berdiri santai sambil tersenyum dengan sinis.

“Apa di sekolahmu diajarkan seorang lelaki harus mengganggu wanita dengan hewan seperti itu? Cih, memalukan! Itu trik klise yang bahkan bocah SD pun sudah tidak mau menggunakannya lagi.” Kata pria misterius yang muncul tiba-tiba itu.

Jai, si pria pemegang kadal mengubah posisinya. Akhirnya Ha Na bisa bernapas lega untuk sementara karena kadal itu kini menjauh dari hadapannya. Begitu juga dengan Hoon dan Yoong, kedua teman Jai, mereka melepas cengkeraman pada sepasang bahu Ha Na.

“Jangan ikut campur, ini urusan kami. Dilihat dari seragam yang kau pakai, kau dari Tae Sung School? Cih, sekolah elit yang tidak menerima wanita itu ‘kan?” kata Jai bermaksud menyindir.

“Aku paling tidak suka menjawab pertanyaan yang bahkan jawabannya sudah diketahui oleh si penanya.” Kata pria itu membuat Jai geram.

“Kurang ajar, kau mau terlihat keren di hadapan wanita?” Jai semakin menekankan gaya ucapannya.

“Jika aku kau anggap ingin terlihat keren di hadapan wanita, berarti kupikir kau ingin terlihat seperti banci di hadapan wanita ‘kan? Benar ‘kan tebakanku?” pria itu semakin bersemangat mempermainkan emosi Jai, “pria mana yang suka mengganggu wanita dengan hal bodoh seperti itu jika bukan banci yang melakukannya?”

“Brengsek, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak tahu siapa ayahnya? Dia yang memiliki hampir semua tanah di lingkungan ini. Bahkan jika mau sekolahmu yang terkenal itu bisa saja dibeli!” Hoon yang dari tadi menahan emosinya kini angkat bicara dengan membanggakan kekayaan ayahnya Jai.

Yoong juga tidak mau kalah berkata-kata, “kau terlalu gegabah berkata seperti itu. Jangan-jangan kau belum tahu akibatnya jika berurusan dengan kami, terutama dengan Jai.”

Pria itu bukannya bergeming, justru ia semakin tersenyum lebar tanpa kekhawatiran sedikit pun. Ia maju beberapa langkah mendekati tiga pria nakal itu.

“Kalau begitu, kalian belum tahu ya?” pria itu semakin percaya diri dalam bertindak bahkan kini ia sudah ada satu langkah di hadapan Jai dan kedua teman Jai, “jika kalian tidak bermanfaat untukku, bagiku kalian tak lebih dari sekedar daging yang memiliki nyawa.” Lanjut pria itu pelan, bermaksud agar ucapannya tidak didengar Ha Na yang masih berdiri di belakang tiga bocah nakal itu.

“Kau...” Jai bermaksud mendaratkan tinjunya pada pria itu namun gagal. Pria itu langsung menangkis, bahkan mampu menjatuhkan Jai tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.

“Kau tidak akan mampu menjatuhkanku jika hanya memiliki pukulan lemah seperti itu. Sudah kubilang, kau hanya mampu menyakiti wanita dengan hal-hal bodoh.”

Hoon dan Yoong bermaksud menyerang pria itu bersamaan, tapi Jai menghalangi mereka. “Hari ini kita sampai di sini.” Kata Jai sambil memegangi bahunya yang sempat mendapat serangan dari pria misterius itu.

“Tapi Jai anak in−” Hoon bersikeras ingin menghajar pria itu.

Jai memberi isyarat bahwa ucapannya harus mereka turuti. Hoon dan Yoong pun menurut, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.

“Kita bukan tandingannya.” Ucap Jai tiba-tiba. Kedua temannya tentu terkejut mendengar Jai yang tak pernah takut oleh siapa pun tiba-tiba bersikap seperti itu.

“Jai, padahal jika kita serang bersama, orang itu pasti babak belur.” Yoong mencoba menegaskan bahwa ketakutan Jai itu adalah sebuah kesalahan.

“Atau kita yang akan babak belur. Ini memang menjengkelkan, tapi kita dan orang itu benar-benar ada di level yang sangat berbeda. Aku sempat melihat name tag... Ah sudahlah, jangan bicarakan hal ini kepada anak-anak lainnya, ini sangat memalukan!”

“Jai...” Hoon yang masih jengkel itu akhirnya sudah tenang karena melihat Jai yang benar-benar yakin bahwa siswa dari Tae Sung itu sangat kuat dan bukan tandingan mereka.

Angin musim gugur menjemput petang, beberapa menit lagi malam akan segera tiba. Gadis yang sempat ketakutan tadi sekarang benar-benar merasa sudah sangat lega. Dan sekarang ia bisa tersenyum sambil menghampiri siswa dari Tae Sung itu untuk berterimakasih.

“Terimakasih sudah menolongku. Aku tidak tahu harus membalas dengan cara apa, aku benar-benar takut, tapi kau tiba-tiba datang dan berhasil membuat mereka melepaskanku.” Ucap Ha Na dengan senyum yang tak ia hilangkan dari wajahnya selama beberapa detik.

“Tidak perlu dipikirkan, aku kesal kalau melihat orang yang jahil seperti mereka. Apalagi yang dijahili perempuan.” Jawab pria itu santai dan ramah.

Seperti angin musim gugur yang kini sedang menyapu lembut kulit Ha Na, gadis itu merasa ucapan dan wajah pria yang baru saja menolongnya seakan memancarkan sesuatu yang menyegarkan. Ada banyak bunga bermekaran yang tidak seharusnya mekar di musim gugur kali ini, bunga itu tumbuh dengan indah di dalam hatinya. Cinta pada pandangan pertama, haruskah ia langsung menyimpulkan demikian? Tapi kenyataannya gadis itu benar-benar terpesona oleh pria tampan yang masih berdiri di hadapannya dalam diam.

Ha Na bermaksud memecah kecanggungan antara mereka. “Boleh aku tahu namamu. Aku Ha Na, Yoon Ha Na. Aku sekolah di Sam Kyeong. Tapi kau jangan menganggapku anak orang kaya seperti mereka. Aku siswi biasa yang beruntung bisa sekolah di sana.”

“Namaku Lee Min Ho. Aku sekolah di Tae Sung. Aku juga sama sepertimu. Intinya tidak ada yang spesial dariku.” Jawab pria itu, Lee Min Ho.

“Sekali lagi terimakasih. Aku sangat senang berkenalan dengan orang baik sepertimu. Rumahku ada di ujung setelah kawasan ini, pokoknya rumah pertama yang ada setelah pabrik-pabrik kecil ini. Kapan-kapan kalau kau mau, kau boleh berkunjung. Aku akan meminta ibuku membuatkanmu kue yang enak sebagai tanda terimakasih untuk hari ini.”

“Membuatkan kue?”

“Hmm, ibuku selalu membuat kue dan mengirimkannya ke kafe-kafe yang cukup terkenal. Kau tidak akan menyesal, kue buatan ibuku sangat enak.”

Ha Na tidak menyadari ekspresi yang ia keluarkan mengandung feromon yang memikat untuk lawan jenisnya. Ekspresi apa adanya dari seorang gadis belia yang baru saja jatuh cinta, dan ekspresi itu sangat mampu membuat wajah pria di hadapannya memerah tanpa Ha Na sadari.

“Aku akan pulang sekarang. Ibuku pasti sangat cemas. Pokoknya kapan-kapan kau harus datang, Lee Min Ho!” kata Ha Na dengan cerianya. Meski perlahan gadis itu semakin menghilang dari pandangan Min Ho, Min Ho masih saja tertegun di tempatnya, merasakan detak jantungnya yang abnormal tiba-tiba.

“Ini tidak boleh terjadi, aku tidak boleh jatuh cinta.”


Bisakah aku menolaknya?
Detak jantung yang bertingkah seenaknya itu tidak mampu dicegah oleh manusia. Saat kau sudah terlanjur mencintai seseorang dengan cara yang tiba-tiba, kau tidak akan mampu menghilangkannya dengan cara yang sama pula.
Apa benar begitu?

−Lee Min Ho−


***

“Hei, tepung terigu! Jangan senang hanya karena kami tidak mengganggumu! Kami bukannya takut oleh siswa Tae Sung itu. Jai sedang sibuk belajar tentang bisnis dengan ayahnya. Kalau Jai sudah beres, kau siap-siap saja!” Hoon menghentikan langkah Ha Na saat mereka berpapasan.
Ha Na benar-benar tidak peduli dengan ulah Jai dan teman-temannya suatu hari nanti. Saat ini yang memenuhi isi otaknya adalah siswa Tae Sung yang pernah menolongnya, seseorang yang sudah mendapat gelar pahlawan dalam hatinya. Ia semakin sadar bahwa tiada hari selama seminggu ini ia lalui tanpa merindukannya.

“Ada apa denganku. Sekarang adalah kesempatanku untuk fokus belajar di sekolah sementara Jai sibuk. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu luang ini untuk memikirkan Lee Min Ho. Lagipula sangat bodoh jika aku terus memikirkan pria yang belum tentu memikirkanku.” Gumam Ha Na. Meski begitu, Ha Na akan tetap melakukan rutinitasnya selama seminggu terakhir ini setelah jam sekolah berakhir. Gadis itu setiap pulang selalu menunggu setengah jam di tempat ia bertemu dengan Min Ho. Ia berharap akan bertemu lagi dengan Min Ho di tempat yang sama.

Jam sekolah berakhir. Ha Na bergegas meninggalkan sekolah. Meski ia mencoba untuk menenangkan perasaan yang  menggebu itu, ia tetap tidak bisa membohongi dirinya untuk melupakan kenangan indah yang belum lama ia dapat. Seseorang yang dalam waktu cepat membuatnya merasakan sesuatu yang berbeda, tentu tidak akan mudah ia abaikan, apalagi saat ini ia sangat merindukan pria itu.

“Apa hari ini kau tidak akan muncul lagi?” gadis yang sedang kasmaran itu menggerutu pelan. Ini sudah lebih dari 30 menit ia menunggu, sampai-sampai ia mulai lelah berdiri. Ia mendekati sungai lalu duduk sambil menatap riak air yang mulai terlihat keemasan karena cahaya matahari yang berubah warna. “Aku akan menunggumu sampai matahari benar-benar tenggelam. Jika sampai saat itu kau tidak juga muncul, aku akan benar-benar membuang harapan bodoh ini dan berusaha melupakanmu.”

Warna langit sudah menghitam saat Ha Na bangkit dengan lemas. Gadis itu berpikir ibunya pasti sangat cemas karena ia belum pulang. Ia sudah memutuskan untuk berhenti melakukan tindakan bodoh itu dan akan pulang tepat waktu mulai besok. Ia tidak akan menunggu Lee Min Ho yang ia harapkan muncul tiba-tiba di hadapannya.

“Kau menungguku? Kenapa kau tidak datang saja ke sekolahku?” tanya seseorang tiba-tiba, “bertanya langsung akan lebih mudah daripada harus menunggu dalam ketidakpastian.”

“Lee Min Ho...” Kedua mata gadis itu berbinar, kedua pipinya memerah, dan beberapa detik kemudian ia tidak berani menunjukkan wajahnya pada orang yang selama seminggu ini selalu dinantikannya.

“Ha Na, Yoon Ha Na...” Min Ho menyebut nama gadis itu dan sukses membuat si pemilik nama senang karena sudah lama ia tak mendengar seseorang memanggilnya dengan nama asli kecuali ibunya. “Yoon Ha Na, tidak baik sendirian di tempat seperti ini. Kau tahu ‘kan? Bagaimana jika ada orang yang menjahatimu lagi? Kenapa kau menungguku sampai seperti ini?”

“Aku tidak sedang menunggumu.” Kata Ha Na mengelak karena malu jika harus mengakuinya dengan terang-terangan.

“Lalu? Kau sedang apa?”

 “Aku sedang...”

“Aku tahu kau menungguku. Kau juga sempat menyebut namaku tadi. Aku mendengarnya.”

“Kau pasti salah dengar, aku tidak pernah menyebut-nyebut namamu. Lagipula aku sedang sendirian, mana mungkin aku bicara sendiri. Hahaha, kau pikir aku orang gila?”

“Yoon Ha Na, kau bohong. Aku jelas-jelas mendengarnya.”

“Aku hanya... Aku hanya... Aku hanya ingin berterimakasih padamu. Bukankah waktu itu aku menyuruhmu mampir ke rumahku, aku sudah janji akan memberikanmu kue buatan ibuku sebagai tanda terimakasih. A  ku, aku bukan tipe orang yang suka berhutang. Itu saja, hahaha.” Jawab Ha Na untuk menutupi kebohongannya, sedangkan Min Ho tersenyum-senyum kecil melihat gadis di hadapannya salah tingkah.

“Kalau begitu bawa aku ke rumahmu!”

“Apa?”

“Kau bilang mau berterimakasih, jadi bawa aku ke rumahmu. Aku ingin makan kue.”

“Tapi kalau jam segini kue-kue buatan ibu biasanya sudah dikirim ke kafe semua. Bagaimana kalau besok?”

“Tidak mau. Tidak ada yang menjamin besok aku ada waktu. Kalau kue-kue buatan ibumu sudah habis. Apa salahnya Yoon Ha Na yang membuat? Sebenarnya aku lebih ingin makan kue buatanmu.”
Lagi-lagi ucapan Min Ho membuat hati gadis itu melayang. Tanpa disengaja Min Ho semakin membuat Ha Na jatuh hati padanya.

“Kau mau kue buatanku?” tanya Ha Na serius. Min Ho mengangguk.

“Ayo pulang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Soal kue jangan dipikirkan.” Min Ho menarik lengan Ha Na. Gadis itu tentu tak mampu menolak. Ia mengikuti langkah kaki Min Ho yang menuju ke arah tempat ia tinggal.

“Aku tidak mengharapkan balasan apapun ketika menolong orang.” Sambil berjalan Min Ho menatap Ha Na yang tersipu. Senyumnya mampu membungkam gadis itu beberapa menit. Dan setelah itu tidak ada pembicaraan lagi selama perjalanan menuju rumah Ha Na.

Ketika mereka sampai tujuan, Min Ho melepas genggaman tangannya pada gadis itu. “Yoon Ha Na, ucapanku yang tadi serius. Jangan lagi sendirian di tempat itu. Kau tidak tahu mungkin saja banyak orang jahat di sana. Masih banyak orang yang lebih mengerikan daripada kejahilan teman sekolahmu itu. Teman-temanmu mungkin hanya suka membully, tapi kau tidak pernah tahu bagaimana jenis bully yang dilakukan orang-orang di luar sana.”

“Kalau itu terjadi, kau akan datang ‘kan?” kata-kata itu terlontar begitu saja dari Ha Na. Terlihat jelas bahwa ia selalu mengharapkan kehadiran Min Ho.

“Kau pikir aku pahlawan super yang selalu muncul saat monster menyerang kota?” Min Ho mengusap-usap puncak kepala Ha Na, membuat gadis itu menunduk dengan pipi yang memerah. Ia berusaha menahan detak jantungnya sendiri agar tidak berdetak terlalu cepat, bahkan ia khawatir Min Ho mampu mendengar detak jantungnya, itu sangat memalukan.

“Aku akan membuatkanmu kue besok. Lihat lampu rumahku belum menyala, kalau begini biasanya ibuku sedang ada di luar. Besok pulang sekolah kau tidak ada kegiatan?”

“Kau mau mengajakku kencan?”

“Ke.. ke.. kencan?”

“Biasanya jika orang menanyakan hal itu pada lawan jenis artinya ia akan mengajak kencan. Benar ‘kan Yoon Ha Na?” kata Min Ho dengan santai.

“Jangan salah paham, aku, aku hanya ingin memberikanmu kue buatanku!” jawab Ha Na tegas samil memejamkan kedua matanya menahan malu.

“Yoon Ha Na, kau...” Min Ho pun bingung harus membalas dengan perkataan apa pada Ha Na. Gadis itu sering membuatnya terkejut dengan tingkah dan ucapannya. Ha Na mampu membiusnya hanya dengan hal-hal kecil dan sederhana. “Baiklah, besok aku akan menunggumu di depan sekolahmu. Kau mau membuatnya kapan? Kau ‘kan sekolah.”

“Besok di sekolahku khusus kegiatan ekskul, aku libur karena tidak ikut ekskul apapun. Oh iya, besok adalah hari ulang tahunku. Setidaknya aku ingin merayakan ulang tahunku dengan orang lain selain ibuku untuk yang pertama kali.” Ha Na terlihat murung sesaat. “Jadi kau tidak perlu ke sekolahku. Aku saja yang akan mengantarkan kue ini ke sekolahmu. Aku akan menunggu di depan gerbang.”

Pria mana yang tidak terhanyut mendengar ucapan seperti itu dari gadis yang disukainya? Bibir Min Ho membentuk senyum bulan sabit setelah mendengarnya.

“Baiklah, besok ya, aku tunggu.”

Ha Na sangat senang dan berharap hari esok segera tiba. Setelah percakapan yang singkat itu, mereka berpisah dan berjanji akan bertemu lagi esok hari di tempat yang berbeda.


***



22 Februari 2016

Entah sudah berapa lembar daun yang berguguran dari pohon-pohon yang ada di dekat gerbang sekolah Tae Sung. Satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam... Bahkan cahaya matahari sudah mengucapkan selamat tinggal pada Seoul dua jam lalu, tapi orang yang ditunggu tidak juga hadir.

Ha Na memutuskan untuk mengakhiri penantiannya yang sudah lima jam berlalu itu. Kecewa? Tentu, tapi ia sadar. Tidak ada hak baginya untuk kecewa atau marah karena Min Ho tidak menepati janji. Ha Na berpikir memang belum saatnya ia merayakan hari yang sangat spesial itu dengan seseorang selain ibunya.
Langkah yang jelas tanpa semangat itu tiba-tiba terhenti saat mobil mewah berhenti di sisi kanannya. seorang pria keluar lalu menutup pintu mobil dengan bantingan yang terburu-buru.

“Aku sudah menduganya, ternyata kau terus menungguku.” Kata Min Ho sambil menyentuh kedua bahu Ha Na.

Ha Na menunduk, gadis itu tidak berani menatap Min Ho. Ia tidak ingin rasa sedih, marah, dan kecewa yang tercampur aduk itu terbongkar dari aduan mata mereka. “Kita sudah berjanji, aku menunggumu hanya untuk memastikan bahwa kau tidak mengingkari janjimu. Tapi ternyata kau memang mengingkarinya.”

Min Ho menyentuh kedua sisi kepala gadis itu, ia mendongakannya, berusaha mencari tatapan mata Ha Na yang penuh kekecewaan.

“Ha Na-ya, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengingkari janji itu. Aku ingat, bahkan setiap detik setelah kita berjanji kemarin. Tapi situasinya tidak memungkinkan.”

“Aku tahu, aku tidak berhak marah. Ah sudahlah, lagipula ulang tahun ‘kan tidak terlalu penting.” Ha Na tersenyum pahit. Min Ho pun mengerti bahwa senyum itu adalah senyum palsu yang berusaha menyembunyikan kekecewaan.

“Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, tapi aku yakin kau akan mengerti jika aku menjelaskannya. Dan kau bilang apa tadi? Kau tidak berhak marah? Yoon Ha Na, bagiku kau sudah sangat berhak untuk melakukan hal apapun padaku, termasuk marah.”

Ha Na terkejut sesaat, namun gadis itu mampu mengendalikan dirinya untuk tidak terbawa oleh ucapan mempesona dari pria itu.

“Kalau aku berniat ingkar janji, untuk apa aku datang mencarimu ke rumah dan ke sekolah ini?”

“Kau mencariku ke rumah?” tanya Ha Na yang kali ini sudah mau menatap langsung Min Ho.

“Aku pikir kau sudah pulang, aku ke rumahmu Ha Na-ya. Aku bertemu ibumu. Kata ibumu kau sedang bertemu dengan teman untuk merayakan ulang tahunmu, makanya aku langsung ke sini.”

“Jangan terlalu baik padaku, kau tidak perlu menyesal karena tidak bisa memenuhi janjimu, Min Ho-ya.”
Min Ho menggeleng pelan setelah Ha Na mengucapkan kata-kata itu dengan suara parau padanya. Sudah diyakini oleh keduanya bahwa hati mereka sudah terhubung oleh suatu ikatan, CINTA.

“Aku harus menyesal, menyesali semuanya.”

“Maksudmu?” Ha Na langsung merasakan ada sesuatu yang sulit diungkapkan oleh Min Ho padanya. 

“Menyesali semuanya? Apa kau menyesal sudah menge−”

“Bukan!” Min Ho menjawab tegas, “aku tidak menyesal mengenalmu, aku sangat senang bahkan sejak awal aku melihatmu. Aku sangat menyukaimu.” Kali ini Min Ho yang menunduk, menyembunyikan sesuatu yang tidak main-main. “Ha Na-ya, maafkan aku. Aku telah membuatmu menyukaiku, aku telah membuat gadis polos sepertimu merasakan perasaan yang tidak masuk akal ini.”

“Kau bicara apa? Ya, kau benar. Aku sangat menyukaimu, sebenarnya aku malu mengaku seperti ini, tapi tingkah anehmu sudah keterlaluan. Bahkan sekarang aku bingung harus merasa apa padamu, marah, senang, atau apa!” Ha Na yang sekarang menyentuh kedua sisi kepala lawan bicaranya. “Min Ho-ya, aku tidak berharap kau juga menyukaiku. Setidaknya kita bisa menjadi teman yang baik, itu juga sudah membuatku senang. Jadi kau jangan terlalu memikirkan janji hari ini, aku tidak apa-apa.”

“Kau bodoh ya?” kata Min Ho, “bukan itu, aku juga suka Yoon Ha Na. Bahkan lebih dari itu, aku mencintai Yoon Ha Na.” Angin musim gugur bagai menyelinap ke sudut-sudut hati gadis itu tapi seketika angin yang awalnya terasa sangat menyegarkan berubah menjadi angin yang berasal dari musim panas, gersang, menyakitkan. “Tapi aku menyesal akan segera meninggalkanmu.”

“Apa yang kau bicarakan ‘sih? Dari tadi aku bingung.”

“Ha Na-ya, ada kebohongan besar yang kusembunyikan. Dan aku tidak bisa mengatakannya padamu untuk saat ini. Tapi aku janji, suatu saat nanti kau akan tahu rahasia terbesarku.

“Aku tidak begitu tertarik dengan privasi orang lain. Tapi tolong kau akan meninggalkanku ke mana? Kau mau pindah?”

Min Ho mengangguk.

“Tapi kita bisa saling memberi kabar ‘kan?”

Min Ho menggeleng pelan.

“Saudaramu masih ada di sini ‘kan? Jadi kau akan sering main ke sini ‘kan?”

Min Ho menggeleng.

“Jadi kau akan mengakhiri hubungan ini sebelum kita benar-benar memulainya?”

Min Ho mengangguk.

“Seharusnya kau tidak usah mengakui perasaanmu. Percuma saja!” Ha Na kesal, ada seorang pria egois di hadapannya sekarang.

“Aku ingin memastikan bahwa hati kita saling memiliki.” Min Ho mendongak, menunjukkan kedua matanya yang telah memerah.

“Aku tidak mengerti apapun maksudmu, aku tidak mengerti kenapa kau melakukan ini padaku, aku tidak mengerti semuanya. Dan kupikir kau lelaki yang cukup brengsek. Seharusnya kau kau tidak menolongku waktu itu, aku tidak berharap kau menolongku jika pada akhirnya rasa sakit yang kurasakan lebih sakit dari penindasan yang anak-anak nakal itu lakukan padaku.”

Ha Na berpaling, melanjutkan langkah kakinya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia katakan pada Min Ho. Tapi ia tahu bahwa pertanyaan-pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban yang diharapkan. Kalau mau pergi ya pergi saja, tidak perlu meninggalkan jejak ikatan apapun.

“Ha Na!”

Ha Na tidak peduli.

“Ha Na!”

Ha Na masih tidak peduli.

“Yoon Ha Na!”

Ha Na berusaha keras tidak peduli.

“Yoon Ha Na, setidaknya kau harus percaya bahwa apa yang kukatakan padamu adalah kebenaran. Aku sangat mencintaimu...”

Grebbb!

Tubuh hangat pria itu kini memeluk Ha Na sepenuhnya.

“Lepaskan!” Ha Na sedikit memberontak.

“Ha Na...”

“Kubilang lepaskan!”

Min Ho mendorong tubuh Ha Na hingga menghimpit tembok tinggi yang masih menjadi bagian dari gerbang sekolah Tae Sung. “Ha Na...”

“Lepaskan aku, Lee Min Ho!”

“Ha Na...”

Jebal, lepaskan aku...” Kata Ha Na melemah. Kali ini ia tak lagi memberontak. Kedua tangan gadis itu bahkan terangkat dan membalas pelukan pria yang sempat memaksa itu.

“Ha Na...”

“Kenapa kau begini padaku, Lee Min Ho?” kata Ha Na dengan suara parau yang mampu meluluhkan hati Min Ho sejak awal. “Kau membuatku menyukaimu tapi kau justru akan pergi setelah aku terlanjur menyukaimu.”

“Ha Na...”

“Jangan menyebut namaku seperti itu...”

“Ha Na... Happy birthday baby, happy birthday...”

Min Ho memeluk gadisnya semakin erat, wajah gadis itu benar-benar terbenam sempurna pada permukaan dada bidangnya. Kaosnya lantas basah menerima air mata Yoon Ha Na, membuat Min Ho semakin enggan untuk melepas gadis itu.

“Kau pria terbrengsek yang pernah kukenal...!”

Tangisan Ha Na semakin menjadi.

“Kenapa kau menolongku waktu itu?”

Min Ho menjawab dalam hatinya, “karena aku tidak ingin kau dihina orang lain.”

“Kenapa setelah itu kau bersikap sangat baik padaku?”

Min Ho menjawab dalam hatinya, “karena aku sangat menyukaimu, bahkan mencintaimu.”

“Kenapa kau mengatakan memiliki perasaan yang sama kalau kau akan pergi?”

Min Ho menjawab dalam hatinya, “karena aku ingin terus kau cintai, maaf karena aku sangat egois.”

“Kenapa kau akan meninggalkanku setelah semua ini?”

Kali ini Min Ho menjawab dengan tegas, “karena aku tidak ingin menyakitimu.”

Satu detik kemudian Min Ho semakin menghimpitkan tubuh Ha Na pada tembok tinggi itu. Tersembunyi di tengah kegelapan malam, ia merasakan manisnya ciuman pertama dengan seorang gadis yang sangat ia cintai itu. satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan sudah 60 detik lebih ia tak mau melepas nafsunya yang hampir tak terkendali itu. Sampai ia ingat bahwa gadis yang sedang ia rengkuh itu adalah kesayangannya, ia tidak ingin merusak gadis belia yang masih suci itu. Ia berusaha mengontrol dirinya, tidak pantas bagi seorang pria yang akan pergi lantas menyisakan bekas luka yang terlalu dalam bagi orang yang ditinggalkannya. Brengsek dan terlalu kejam!

“Aku akan mengantarkanmu pulang.”

Min Ho melajukan mobil, membelah jalanan sepi menuju rumah Ha Na. Tidak ada yang mereka ucapkan sepanjang perjalanan hingga keduanya kini benar-benar sudah tiba di rumah Ha Na.

“Terima kasih sudah mengantarku. Kau akan pergi sekarang ‘kan?” kata Ha Na, kemudian ia turun dari mobil. Min Ho menyusul langkah Ha Na, menggenggam lengan Ha Na lalu memeluk gadis itu lagi.

“Ha Na, jangan diam saja kalau ada yang menganggumu!”

Ha Na mengangguk.

“Ha Na, bertemanlah dengan semua orang yang  baik padamu!”

Ha Na mengangguk.

“Ha Na, jadilah wanita yang bisa membanggakan ibumu!”

Ha Na mengangguk.

“Ha Na, meski aku memintamu untuk terus mencintaiku tapi menikahlah dengan pria yang baik. Pria itu harus bisa melindungimu.”

“Kau brengsek, Lee Min Ho!” tapi Ha Na tetap mengangguk.

“Ha Na, kau harus bahagia!”

Ha Na menggeleng.

“Pertemuan kita sampai sekarang adalah waktu yang sangat singkat, tapi bagiku itu bukan halangan untuk mempunyai perasaan padamu. Jangan anggap aku anak kecil yang bisa tersenyum beberapa detik kemudian setelah menangis karena terjatuh!”

“Ada banyak masalah yang mengikutiku, aku tidak ingin kau terlibat dengan masalahku. Ada banyak kegelapan di dalam diriku, aku ingin menyelesaikan dulu semuanya. Dan itu membutuhkan waktu yang lama. Jadi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu. Masa depanmu, aku tidak ingin mengorbankannya, Yoon Ha Na.”

“Jadi kita benar-benar akan berpisah?”

Min Ho mengangguk.

“Tidak ada hubungan apapun?”

Min Ho mengangguk.

“Meski kita saling mencintai?”

Min Ho mengangguk.

“Kau pria brengsek, Lee Min Ho!”




Seperti bangun dari tidur panjang yang dipenuhi mimpi buruk
Tetes air mata ini ternyata benar-benar nyata. Menurutku, iblis pun berhak mencintai seseorang? Lalu, kenapa kau tidak?

−Yoon Ha Na−



Tidak berhak seseorang menerima banyak cinta jika di dalam hatinya terdapat banyak kegelapan yang bahkan melebihi kegelapan iblis.

−Lee Min Ho−




THE END