Title : The Secret Reason to Go
Cast : Lee Min Ho, Yoon Ha Na (OC), Etc.
Author : Covi Kim
Ciyeeee ada yang ultah, ada yang umurnya bertambah XD
Happy birthday Thilmaa, maaf telat ya ucapinnya hehehe.. ka baru ngeuh pas tadi buka fb. Buat ultah thilmaa ka kasih ff dadakan ini ya. Semoga suka ^^
Happy Reading :D
***
Begitu
mudah mencintaimu dalam hitungan detik dan menjadikanmu sebagai objek kerinduan
tiba-tiba, lantas kau mengakhiri sebelum benar-benar memulai dan menyuruhku
untuk terus mencintaimu meski aku dalam pelukan cinta yang lain? Apa itu tidak
terlalu egois, Lee Min Ho?
−Yoon
Ha Na−
***
Teriakannya
memecah keheningan. Burung-burung gereja yang sedang bertengger di tiang
listrik pun berhamburan tak lagi berkoloni. Beberapa mata tertuju pada sumber
teriakan itu.
“Hentikan,
kenapa kalian tidak berhenti menggangguku?” kata seorang gadis yang baru saja
berteriak itu,
“Apa mau kalian sebenarnya?” sambungnya sambil menatap ngeri
seekor kadal yang sedang diacungkan di hadapan wajahnya.
“Kau
terlalu menggemaskan Yoon Ha Na.” Jawab pria yang memegang kadal itu sambil
memamerkan senyum nakalnya.
“Selipkan
saja ke dalam bajunya.” Kata teman si pria pemegang kadal antusias.
“Benar,
selipkan saja sekarang. Lagipula ini sudah hampir petang. Kita harus
menyaksikan reaksinya sebelum matahari terbenam.” Sambung orang terakhir dari
ketiga pria jahil itu tak sabar.
Gadis
itu semakin terpojok. Tubuh mungilnya kini sudah menghimpit ke tembok pagar
jalan yang sepi itu. Percuma saja ia berteriak seperti tadi karena kawasan itu
bukan kawasan pemukiman. Di sana hanya ada bangunan-bangunan tempat orang-orang
mengerjakan industri kecil. Dan mereka sudah menyelesaikan aktivitasnya satu
jam yang lalu. Sekarang kawasan itu adalah tempat yang sangat sepi meski malam
belum tiba.
“Ayolah
tepung terigu, aku heran kenapa para gadis membenci hewan ini?” ucap pria
pemegang kadal itu. Kali ini ia semakin mendekatkan si kadal pada gadis itu.
Sedangkan kedua temannya memegangi gadis itu yang mencoba untuk berontak. Tapi
sia-sia bagi gadis itu karena kekuatannya tidak mampu menandingi kekuatan
pria-pria nakal itu.
“Namaku
bukan tepung terigu, aku Yoon Ha Na. Apa yang kalian mau supaya aku tidak
selalu diganggu? Jika kalian ingin aku mengerjakan tugas-tugas sekolah kalian,
aku mau. Tapi tolong singkirkan kadal itu dariku! Jai, Hoon, Yoong, kumohon!” kata
gadis bernama Yoon Ha Na itu, Ha Na yang setiap hari diganggu ketiga pria itu
tak tahu lagi harus bagaimana. Kedua matanya semakin terpejam, tubuhnya
gemetar, ia sangat ketakutan membayangkan beberapa detik lagi kadal itu akan bersentuhan
dengan kulitnya.
“Siapa
peduli dengan namamu, bagi kami kau adalah tepung terigu. Ibumu suka
mengaduk-aduk tepung terigu ‘kan?”
kata Jai mencela.
“Kumohon,
siapa pun tolong aku. Aku mohon.” Ha Na terus berucap seperti itu di dalam
hatinya. Ia tiba-tiba teringat ucapan ayahnya saat ia masih kecil dulu.
“jika kita sedang ada masalah dan tidak
bisa apa-apa lagi sedangkan kita sudah berusaha semampu kita maka berdoa adalah
jalan satu-satunya yang harus kita lakukan karena Tuhan tidak pernah tidur dan
Tuhan akan selalu mendengar doa manusia yang bersungguh-sungguh.”
Ucapan
itu benar-benar diyakini Ha Na. Mungkin bagi kebanyakan orang, seekor kadal
kecil bukanlah masalah besar. Tapi menurut gadis itu, kadal atau hewan melata
lainnya benar-benar membuatnya takut.
“Apa
kalian tidak malu menyakiti wanita seperti itu?”
Ha
Na dan ketiga pria nakal itu langsung menatap ke arah suara itu berasal.
Seorang pria dengan seragam sekolah yang berbeda dengan mereka berdiri santai
sambil tersenyum dengan sinis.
“Apa
di sekolahmu diajarkan seorang lelaki harus mengganggu wanita dengan hewan
seperti itu? Cih, memalukan! Itu trik klise yang bahkan bocah SD pun sudah
tidak mau menggunakannya lagi.” Kata pria misterius yang muncul tiba-tiba itu.
Jai,
si pria pemegang kadal mengubah posisinya. Akhirnya Ha Na bisa bernapas lega
untuk sementara karena kadal itu kini menjauh dari hadapannya. Begitu juga
dengan Hoon dan Yoong, kedua teman Jai, mereka melepas cengkeraman pada
sepasang bahu Ha Na.
“Jangan
ikut campur, ini urusan kami. Dilihat dari seragam yang kau pakai, kau dari Tae Sung School? Cih, sekolah elit yang tidak menerima wanita itu ‘kan?” kata Jai bermaksud menyindir.
“Aku
paling tidak suka menjawab pertanyaan yang bahkan jawabannya sudah diketahui
oleh si penanya.” Kata pria itu membuat Jai geram.
“Kurang
ajar, kau mau terlihat keren di hadapan wanita?” Jai semakin menekankan gaya
ucapannya.
“Jika
aku kau anggap ingin terlihat keren di hadapan wanita, berarti kupikir kau
ingin terlihat seperti banci di hadapan wanita ‘kan? Benar ‘kan
tebakanku?” pria itu semakin bersemangat mempermainkan emosi Jai, “pria mana
yang suka mengganggu wanita dengan hal bodoh seperti itu jika bukan banci yang
melakukannya?”
“Brengsek,
kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak tahu siapa ayahnya?
Dia yang memiliki hampir semua tanah di lingkungan ini. Bahkan jika mau
sekolahmu yang terkenal itu bisa saja dibeli!” Hoon yang dari tadi menahan
emosinya kini angkat bicara dengan membanggakan kekayaan ayahnya Jai.
Yoong
juga tidak mau kalah berkata-kata, “kau terlalu gegabah berkata seperti itu.
Jangan-jangan kau belum tahu akibatnya jika berurusan dengan kami, terutama
dengan Jai.”
Pria
itu bukannya bergeming, justru ia semakin tersenyum lebar tanpa kekhawatiran
sedikit pun. Ia maju beberapa langkah mendekati tiga pria nakal itu.
“Kalau
begitu, kalian belum tahu ya?” pria itu semakin percaya diri dalam bertindak
bahkan kini ia sudah ada satu langkah di hadapan Jai dan kedua teman Jai, “jika
kalian tidak bermanfaat untukku, bagiku kalian tak lebih dari sekedar daging
yang memiliki nyawa.” Lanjut pria itu pelan, bermaksud agar ucapannya tidak
didengar Ha Na yang masih berdiri di belakang tiga bocah nakal itu.
“Kau...”
Jai bermaksud mendaratkan tinjunya pada pria itu namun gagal. Pria itu langsung
menangkis, bahkan mampu menjatuhkan Jai tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.
“Kau
tidak akan mampu menjatuhkanku jika hanya memiliki pukulan lemah seperti itu.
Sudah kubilang, kau hanya mampu menyakiti wanita dengan hal-hal bodoh.”
Hoon
dan Yoong bermaksud menyerang pria itu bersamaan, tapi Jai menghalangi mereka.
“Hari ini kita sampai di sini.” Kata Jai sambil memegangi bahunya yang sempat
mendapat serangan dari pria misterius itu.
“Tapi
Jai anak in−” Hoon bersikeras ingin menghajar pria itu.
Jai
memberi isyarat bahwa ucapannya harus mereka turuti. Hoon dan Yoong pun
menurut, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.
“Kita
bukan tandingannya.” Ucap Jai tiba-tiba. Kedua temannya tentu terkejut
mendengar Jai yang tak pernah takut oleh siapa pun tiba-tiba bersikap seperti
itu.
“Jai,
padahal jika kita serang bersama, orang itu pasti babak belur.” Yoong mencoba
menegaskan bahwa ketakutan Jai itu adalah sebuah kesalahan.
“Atau
kita yang akan babak belur. Ini memang menjengkelkan, tapi kita dan orang itu
benar-benar ada di level yang sangat berbeda. Aku sempat melihat name tag... Ah
sudahlah, jangan bicarakan hal ini kepada anak-anak lainnya, ini sangat
memalukan!”
“Jai...”
Hoon yang masih jengkel itu akhirnya sudah tenang karena melihat Jai yang
benar-benar yakin bahwa siswa dari Tae
Sung itu sangat kuat dan bukan tandingan mereka.
Angin
musim gugur menjemput petang, beberapa menit lagi malam akan segera tiba. Gadis
yang sempat ketakutan tadi sekarang benar-benar merasa sudah sangat lega. Dan sekarang
ia bisa tersenyum sambil menghampiri siswa dari Tae Sung itu untuk berterimakasih.
“Terimakasih
sudah menolongku. Aku tidak tahu harus membalas dengan cara apa, aku
benar-benar takut, tapi kau tiba-tiba datang dan berhasil membuat mereka
melepaskanku.” Ucap Ha Na dengan senyum yang tak ia hilangkan dari wajahnya
selama beberapa detik.
“Tidak
perlu dipikirkan, aku kesal kalau melihat orang yang jahil seperti mereka.
Apalagi yang dijahili perempuan.” Jawab pria itu santai dan ramah.
Seperti
angin musim gugur yang kini sedang menyapu lembut kulit Ha Na, gadis itu merasa
ucapan dan wajah pria yang baru saja menolongnya seakan memancarkan sesuatu
yang menyegarkan. Ada banyak bunga bermekaran yang tidak seharusnya mekar di
musim gugur kali ini, bunga itu tumbuh dengan indah di dalam hatinya. Cinta
pada pandangan pertama, haruskah ia langsung menyimpulkan demikian? Tapi
kenyataannya gadis itu benar-benar terpesona oleh pria tampan yang masih
berdiri di hadapannya dalam diam.
Ha
Na bermaksud memecah kecanggungan antara mereka. “Boleh aku tahu namamu. Aku Ha
Na, Yoon Ha Na. Aku sekolah di Sam Kyeong. Tapi kau jangan menganggapku anak
orang kaya seperti mereka. Aku siswi biasa yang beruntung bisa sekolah di
sana.”
“Namaku
Lee Min Ho. Aku sekolah di Tae Sung.
Aku juga sama sepertimu. Intinya tidak ada yang spesial dariku.” Jawab pria
itu, Lee Min Ho.
“Sekali
lagi terimakasih. Aku sangat senang berkenalan dengan orang baik sepertimu.
Rumahku ada di ujung setelah kawasan ini, pokoknya rumah pertama yang ada
setelah pabrik-pabrik kecil ini. Kapan-kapan kalau kau mau, kau boleh
berkunjung. Aku akan meminta ibuku membuatkanmu kue yang enak sebagai tanda
terimakasih untuk hari ini.”
“Membuatkan
kue?”
“Hmm,
ibuku selalu membuat kue dan mengirimkannya ke kafe-kafe yang cukup terkenal.
Kau tidak akan menyesal, kue buatan ibuku sangat enak.”
Ha
Na tidak menyadari ekspresi yang ia keluarkan mengandung feromon yang memikat
untuk lawan jenisnya. Ekspresi apa adanya dari seorang gadis belia yang baru
saja jatuh cinta, dan ekspresi itu sangat mampu membuat wajah pria di
hadapannya memerah tanpa Ha Na sadari.
“Aku
akan pulang sekarang. Ibuku pasti sangat cemas. Pokoknya kapan-kapan kau harus
datang, Lee Min Ho!” kata Ha Na dengan cerianya. Meski perlahan gadis itu
semakin menghilang dari pandangan Min Ho, Min Ho masih saja tertegun di
tempatnya, merasakan detak jantungnya yang abnormal tiba-tiba.
“Ini
tidak boleh terjadi, aku tidak boleh jatuh cinta.”
Bisakah
aku menolaknya?
Detak
jantung yang bertingkah seenaknya itu tidak mampu dicegah oleh manusia. Saat
kau sudah terlanjur mencintai seseorang dengan cara yang tiba-tiba, kau tidak
akan mampu menghilangkannya dengan cara yang sama pula.
Apa
benar begitu?
−Lee
Min Ho−
***
“Hei,
tepung terigu! Jangan senang hanya karena kami tidak mengganggumu! Kami
bukannya takut oleh siswa Tae Sung
itu. Jai sedang sibuk belajar tentang bisnis dengan ayahnya. Kalau Jai sudah
beres, kau siap-siap saja!” Hoon menghentikan langkah Ha Na saat mereka
berpapasan.
Ha
Na benar-benar tidak peduli dengan ulah Jai dan teman-temannya suatu hari
nanti. Saat ini yang memenuhi isi otaknya adalah siswa Tae Sung yang pernah menolongnya, seseorang yang sudah mendapat
gelar pahlawan dalam hatinya. Ia semakin sadar bahwa tiada hari selama seminggu
ini ia lalui tanpa merindukannya.
“Ada
apa denganku. Sekarang adalah kesempatanku untuk fokus belajar di sekolah
sementara Jai sibuk. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu luang ini untuk
memikirkan Lee Min Ho. Lagipula sangat bodoh jika aku terus memikirkan pria
yang belum tentu memikirkanku.” Gumam Ha Na. Meski begitu, Ha Na akan tetap
melakukan rutinitasnya selama seminggu terakhir ini setelah jam sekolah
berakhir. Gadis itu setiap pulang selalu menunggu setengah jam di tempat ia
bertemu dengan Min Ho. Ia berharap akan bertemu lagi dengan Min Ho di tempat
yang sama.
Jam
sekolah berakhir. Ha Na bergegas meninggalkan sekolah. Meski ia mencoba untuk
menenangkan perasaan yang menggebu itu,
ia tetap tidak bisa membohongi dirinya untuk melupakan kenangan indah yang
belum lama ia dapat. Seseorang yang dalam waktu cepat membuatnya merasakan sesuatu
yang berbeda, tentu tidak akan mudah ia abaikan, apalagi saat ini ia sangat
merindukan pria itu.
“Apa
hari ini kau tidak akan muncul lagi?” gadis yang sedang kasmaran itu menggerutu
pelan. Ini sudah lebih dari 30 menit ia menunggu, sampai-sampai ia mulai lelah
berdiri. Ia mendekati sungai lalu duduk sambil menatap riak air yang mulai
terlihat keemasan karena cahaya matahari yang berubah warna. “Aku akan
menunggumu sampai matahari benar-benar tenggelam. Jika sampai saat itu kau
tidak juga muncul, aku akan benar-benar membuang harapan bodoh ini dan berusaha
melupakanmu.”
Warna
langit sudah menghitam saat Ha Na bangkit dengan lemas. Gadis itu berpikir
ibunya pasti sangat cemas karena ia belum pulang. Ia sudah memutuskan untuk
berhenti melakukan tindakan bodoh itu dan akan pulang tepat waktu mulai besok.
Ia tidak akan menunggu Lee Min Ho yang ia harapkan muncul tiba-tiba di
hadapannya.
“Kau
menungguku? Kenapa kau tidak datang saja ke sekolahku?” tanya seseorang
tiba-tiba, “bertanya langsung akan lebih mudah daripada harus menunggu dalam
ketidakpastian.”
“Lee
Min Ho...” Kedua mata gadis itu berbinar, kedua pipinya memerah, dan beberapa
detik kemudian ia tidak berani menunjukkan wajahnya pada orang yang selama
seminggu ini selalu dinantikannya.
“Ha
Na, Yoon Ha Na...” Min Ho menyebut nama gadis itu dan sukses membuat si pemilik
nama senang karena sudah lama ia tak mendengar seseorang memanggilnya dengan
nama asli kecuali ibunya. “Yoon Ha Na, tidak baik sendirian di tempat seperti
ini. Kau tahu ‘kan? Bagaimana jika
ada orang yang menjahatimu lagi? Kenapa kau menungguku sampai seperti ini?”
“Aku
tidak sedang menunggumu.” Kata Ha Na mengelak karena malu jika harus
mengakuinya dengan terang-terangan.
“Lalu?
Kau sedang apa?”
“Aku
sedang...”
“Aku
tahu kau menungguku. Kau juga sempat menyebut namaku tadi. Aku mendengarnya.”
“Kau
pasti salah dengar, aku tidak pernah menyebut-nyebut namamu. Lagipula aku
sedang sendirian, mana mungkin aku bicara sendiri. Hahaha, kau pikir aku orang
gila?”
“Yoon
Ha Na, kau bohong. Aku jelas-jelas mendengarnya.”
“Aku
hanya... Aku hanya... Aku hanya ingin berterimakasih padamu. Bukankah waktu itu
aku menyuruhmu mampir ke rumahku, aku sudah janji akan memberikanmu kue buatan
ibuku sebagai tanda terimakasih. A ku,
aku bukan tipe orang yang suka berhutang. Itu saja, hahaha.” Jawab Ha Na untuk
menutupi kebohongannya, sedangkan Min Ho tersenyum-senyum kecil melihat gadis
di hadapannya salah tingkah.
“Kalau
begitu bawa aku ke rumahmu!”
“Apa?”
“Kau
bilang mau berterimakasih, jadi bawa aku ke rumahmu. Aku ingin makan kue.”
“Tapi
kalau jam segini kue-kue buatan ibu biasanya sudah dikirim ke kafe semua.
Bagaimana kalau besok?”
“Tidak
mau. Tidak ada yang menjamin besok aku ada waktu. Kalau kue-kue buatan ibumu
sudah habis. Apa salahnya Yoon Ha Na yang membuat? Sebenarnya aku lebih ingin
makan kue buatanmu.”
Lagi-lagi
ucapan Min Ho membuat hati gadis itu melayang. Tanpa disengaja Min Ho semakin
membuat Ha Na jatuh hati padanya.
“Kau
mau kue buatanku?” tanya Ha Na serius. Min Ho mengangguk.
“Ayo
pulang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Soal kue jangan dipikirkan.” Min
Ho menarik lengan Ha Na. Gadis itu tentu tak mampu menolak. Ia mengikuti
langkah kaki Min Ho yang menuju ke arah tempat ia tinggal.
“Aku
tidak mengharapkan balasan apapun ketika menolong orang.” Sambil berjalan Min
Ho menatap Ha Na yang tersipu. Senyumnya mampu membungkam gadis itu beberapa
menit. Dan setelah itu tidak ada pembicaraan lagi selama perjalanan menuju
rumah Ha Na.
Ketika
mereka sampai tujuan, Min Ho melepas genggaman tangannya pada gadis itu. “Yoon
Ha Na, ucapanku yang tadi serius. Jangan lagi sendirian di tempat itu. Kau
tidak tahu mungkin saja banyak orang jahat di sana. Masih banyak orang yang
lebih mengerikan daripada kejahilan teman sekolahmu itu. Teman-temanmu mungkin
hanya suka membully, tapi kau tidak pernah tahu bagaimana jenis bully yang
dilakukan orang-orang di luar sana.”
“Kalau
itu terjadi, kau akan datang ‘kan?”
kata-kata itu terlontar begitu saja dari Ha Na. Terlihat jelas bahwa ia selalu
mengharapkan kehadiran Min Ho.
“Kau
pikir aku pahlawan super yang selalu muncul saat monster menyerang kota?” Min
Ho mengusap-usap puncak kepala Ha Na, membuat gadis itu menunduk dengan pipi
yang memerah. Ia berusaha menahan detak jantungnya sendiri agar tidak berdetak
terlalu cepat, bahkan ia khawatir Min Ho mampu mendengar detak jantungnya, itu
sangat memalukan.
“Aku
akan membuatkanmu kue besok. Lihat lampu rumahku belum menyala, kalau begini
biasanya ibuku sedang ada di luar. Besok pulang sekolah kau tidak ada
kegiatan?”
“Kau
mau mengajakku kencan?”
“Ke..
ke.. kencan?”
“Biasanya
jika orang menanyakan hal itu pada lawan jenis artinya ia akan mengajak kencan.
Benar ‘kan Yoon Ha Na?” kata Min Ho
dengan santai.
“Jangan
salah paham, aku, aku hanya ingin memberikanmu kue buatanku!” jawab Ha Na tegas
samil memejamkan kedua matanya menahan malu.
“Yoon
Ha Na, kau...” Min Ho pun bingung harus membalas dengan perkataan apa pada Ha
Na. Gadis itu sering membuatnya terkejut dengan tingkah dan ucapannya. Ha Na
mampu membiusnya hanya dengan hal-hal kecil dan sederhana. “Baiklah, besok aku
akan menunggumu di depan sekolahmu. Kau mau membuatnya kapan? Kau ‘kan sekolah.”
“Besok
di sekolahku khusus kegiatan ekskul, aku libur karena tidak ikut ekskul apapun.
Oh iya, besok adalah hari ulang tahunku. Setidaknya aku ingin merayakan ulang
tahunku dengan orang lain selain ibuku untuk yang pertama kali.” Ha Na terlihat
murung sesaat. “Jadi kau tidak perlu ke sekolahku. Aku saja yang akan
mengantarkan kue ini ke sekolahmu. Aku akan menunggu di depan gerbang.”
Pria
mana yang tidak terhanyut mendengar ucapan seperti itu dari gadis yang
disukainya? Bibir Min Ho membentuk senyum bulan sabit setelah mendengarnya.
“Baiklah,
besok ya, aku tunggu.”
Ha
Na sangat senang dan berharap hari esok segera tiba. Setelah percakapan yang
singkat itu, mereka berpisah dan berjanji akan bertemu lagi esok hari di tempat
yang berbeda.
***
22 Februari 2016
Entah
sudah berapa lembar daun yang berguguran dari pohon-pohon yang ada di dekat
gerbang sekolah Tae Sung. Satu jam,
dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam... Bahkan cahaya matahari sudah
mengucapkan selamat tinggal pada Seoul dua jam lalu, tapi orang yang ditunggu
tidak juga hadir.
Ha
Na memutuskan untuk mengakhiri penantiannya yang sudah lima jam berlalu itu.
Kecewa? Tentu, tapi ia sadar. Tidak ada hak baginya untuk kecewa atau marah
karena Min Ho tidak menepati janji. Ha Na berpikir memang belum saatnya ia
merayakan hari yang sangat spesial itu dengan seseorang selain ibunya.
Langkah
yang jelas tanpa semangat itu tiba-tiba terhenti saat mobil mewah berhenti di
sisi kanannya. seorang pria keluar lalu menutup pintu mobil dengan bantingan
yang terburu-buru.
“Aku
sudah menduganya, ternyata kau terus menungguku.” Kata Min Ho sambil menyentuh
kedua bahu Ha Na.
Ha
Na menunduk, gadis itu tidak berani menatap Min Ho. Ia tidak ingin rasa sedih,
marah, dan kecewa yang tercampur aduk itu terbongkar dari aduan mata mereka.
“Kita sudah berjanji, aku menunggumu hanya untuk memastikan bahwa kau tidak
mengingkari janjimu. Tapi ternyata kau memang mengingkarinya.”
Min
Ho menyentuh kedua sisi kepala gadis itu, ia mendongakannya, berusaha mencari
tatapan mata Ha Na yang penuh kekecewaan.
“Ha
Na-ya, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengingkari janji itu. Aku ingat,
bahkan setiap detik setelah kita berjanji kemarin. Tapi situasinya tidak
memungkinkan.”
“Aku
tahu, aku tidak berhak marah. Ah sudahlah, lagipula ulang tahun ‘kan tidak terlalu penting.” Ha Na
tersenyum pahit. Min Ho pun mengerti bahwa senyum itu adalah senyum palsu yang
berusaha menyembunyikan kekecewaan.
“Aku
tidak bisa menjelaskannya padamu, tapi aku yakin kau akan mengerti jika aku
menjelaskannya. Dan kau bilang apa tadi? Kau tidak berhak marah? Yoon Ha Na,
bagiku kau sudah sangat berhak untuk melakukan hal apapun padaku, termasuk
marah.”
Ha
Na terkejut sesaat, namun gadis itu mampu mengendalikan dirinya untuk tidak
terbawa oleh ucapan mempesona dari pria itu.
“Kalau
aku berniat ingkar janji, untuk apa aku datang mencarimu ke rumah dan ke
sekolah ini?”
“Kau
mencariku ke rumah?” tanya Ha Na yang kali ini sudah mau menatap langsung Min
Ho.
“Aku
pikir kau sudah pulang, aku ke rumahmu Ha Na-ya. Aku bertemu ibumu. Kata ibumu
kau sedang bertemu dengan teman untuk merayakan ulang tahunmu, makanya aku
langsung ke sini.”
“Jangan
terlalu baik padaku, kau tidak perlu menyesal karena tidak bisa memenuhi
janjimu, Min Ho-ya.”
Min
Ho menggeleng pelan setelah Ha Na mengucapkan kata-kata itu dengan suara parau
padanya. Sudah diyakini oleh keduanya bahwa hati mereka sudah terhubung oleh
suatu ikatan, CINTA.
“Aku
harus menyesal, menyesali semuanya.”
“Maksudmu?”
Ha Na langsung merasakan ada sesuatu yang sulit diungkapkan oleh Min Ho
padanya.
“Menyesali semuanya? Apa kau menyesal sudah menge−”
“Bukan!”
Min Ho menjawab tegas, “aku tidak menyesal mengenalmu, aku sangat senang bahkan
sejak awal aku melihatmu. Aku sangat menyukaimu.” Kali ini Min Ho yang
menunduk, menyembunyikan sesuatu yang tidak main-main. “Ha Na-ya, maafkan aku.
Aku telah membuatmu menyukaiku, aku telah membuat gadis polos sepertimu
merasakan perasaan yang tidak masuk akal ini.”
“Kau
bicara apa? Ya, kau benar. Aku sangat menyukaimu, sebenarnya aku malu mengaku
seperti ini, tapi tingkah anehmu sudah keterlaluan. Bahkan sekarang aku bingung
harus merasa apa padamu, marah, senang, atau apa!” Ha Na yang sekarang
menyentuh kedua sisi kepala lawan bicaranya. “Min Ho-ya, aku tidak berharap kau
juga menyukaiku. Setidaknya kita bisa menjadi teman yang baik, itu juga sudah
membuatku senang. Jadi kau jangan terlalu memikirkan janji hari ini, aku tidak
apa-apa.”
“Kau
bodoh ya?” kata Min Ho, “bukan itu, aku juga suka Yoon Ha Na. Bahkan lebih dari
itu, aku mencintai Yoon Ha Na.” Angin musim gugur bagai menyelinap ke
sudut-sudut hati gadis itu tapi seketika angin yang awalnya terasa sangat menyegarkan
berubah menjadi angin yang berasal dari musim panas, gersang, menyakitkan.
“Tapi aku menyesal akan segera meninggalkanmu.”
“Apa
yang kau bicarakan ‘sih? Dari tadi aku bingung.”
“Ha
Na-ya, ada kebohongan besar yang kusembunyikan. Dan aku tidak bisa
mengatakannya padamu untuk saat ini. Tapi aku janji, suatu saat nanti kau akan
tahu rahasia terbesarku.
“Aku
tidak begitu tertarik dengan privasi orang lain. Tapi tolong kau akan
meninggalkanku ke mana? Kau mau pindah?”
Min
Ho mengangguk.
“Tapi
kita bisa saling memberi kabar ‘kan?”
Min
Ho menggeleng pelan.
“Saudaramu
masih ada di sini ‘kan? Jadi kau akan
sering main ke sini ‘kan?”
Min
Ho menggeleng.
“Jadi
kau akan mengakhiri hubungan ini sebelum kita benar-benar memulainya?”
Min
Ho mengangguk.
“Seharusnya
kau tidak usah mengakui perasaanmu. Percuma saja!” Ha Na kesal, ada seorang
pria egois di hadapannya sekarang.
“Aku
ingin memastikan bahwa hati kita saling memiliki.” Min Ho mendongak,
menunjukkan kedua matanya yang telah memerah.
“Aku
tidak mengerti apapun maksudmu, aku tidak mengerti kenapa kau melakukan ini
padaku, aku tidak mengerti semuanya. Dan kupikir kau lelaki yang cukup
brengsek. Seharusnya kau kau tidak menolongku waktu itu, aku tidak berharap kau
menolongku jika pada akhirnya rasa sakit yang kurasakan lebih sakit dari
penindasan yang anak-anak nakal itu lakukan padaku.”
Ha
Na berpaling, melanjutkan langkah kakinya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia
katakan pada Min Ho. Tapi ia tahu bahwa pertanyaan-pertanyaannya tidak akan
mendapatkan jawaban yang diharapkan. Kalau mau pergi ya pergi saja, tidak perlu
meninggalkan jejak ikatan apapun.
“Ha
Na!”
Ha
Na tidak peduli.
“Ha
Na!”
Ha
Na masih tidak peduli.
“Yoon
Ha Na!”
Ha
Na berusaha keras tidak peduli.
“Yoon
Ha Na, setidaknya kau harus percaya bahwa apa yang kukatakan padamu adalah
kebenaran. Aku sangat mencintaimu...”
Grebbb!
Tubuh
hangat pria itu kini memeluk Ha Na sepenuhnya.
“Lepaskan!”
Ha Na sedikit memberontak.
“Ha
Na...”
“Kubilang
lepaskan!”
Min
Ho mendorong tubuh Ha Na hingga menghimpit tembok tinggi yang masih menjadi bagian
dari gerbang sekolah Tae Sung. “Ha
Na...”
“Lepaskan
aku, Lee Min Ho!”
“Ha
Na...”
“Jebal, lepaskan aku...” Kata Ha Na
melemah. Kali ini ia tak lagi memberontak. Kedua tangan gadis itu bahkan
terangkat dan membalas pelukan pria yang sempat memaksa itu.
“Ha
Na...”
“Kenapa
kau begini padaku, Lee Min Ho?” kata Ha Na dengan suara parau yang mampu
meluluhkan hati Min Ho sejak awal. “Kau membuatku menyukaimu tapi kau justru akan
pergi setelah aku terlanjur menyukaimu.”
“Ha
Na...”
“Jangan
menyebut namaku seperti itu...”
“Ha
Na... Happy birthday baby, happy birthday...”
Min
Ho memeluk gadisnya semakin erat, wajah gadis itu benar-benar terbenam sempurna
pada permukaan dada bidangnya. Kaosnya lantas basah menerima air mata Yoon Ha
Na, membuat Min Ho semakin enggan untuk melepas gadis itu.
“Kau
pria terbrengsek yang pernah kukenal...!”
Tangisan
Ha Na semakin menjadi.
“Kenapa
kau menolongku waktu itu?”
Min
Ho menjawab dalam hatinya, “karena aku tidak ingin kau dihina orang lain.”
“Kenapa
setelah itu kau bersikap sangat baik padaku?”
Min
Ho menjawab dalam hatinya, “karena aku sangat menyukaimu, bahkan mencintaimu.”
“Kenapa
kau mengatakan memiliki perasaan yang sama kalau kau akan pergi?”
Min
Ho menjawab dalam hatinya, “karena aku ingin terus kau cintai, maaf karena aku
sangat egois.”
“Kenapa
kau akan meninggalkanku setelah semua ini?”
Kali
ini Min Ho menjawab dengan tegas, “karena aku tidak ingin menyakitimu.”
Satu
detik kemudian Min Ho semakin menghimpitkan tubuh Ha Na pada tembok tinggi itu.
Tersembunyi di tengah kegelapan malam, ia merasakan manisnya ciuman pertama
dengan seorang gadis yang sangat ia cintai itu. satu detik, dua detik, tiga
detik, bahkan sudah 60 detik lebih ia tak mau melepas nafsunya yang hampir tak terkendali
itu. Sampai ia ingat bahwa gadis yang sedang ia rengkuh itu adalah
kesayangannya, ia tidak ingin merusak gadis belia yang masih suci itu. Ia
berusaha mengontrol dirinya, tidak pantas bagi seorang pria yang akan pergi
lantas menyisakan bekas luka yang terlalu dalam bagi orang yang
ditinggalkannya. Brengsek dan terlalu kejam!
“Aku
akan mengantarkanmu pulang.”
Min
Ho melajukan mobil, membelah jalanan sepi menuju rumah Ha Na. Tidak ada yang
mereka ucapkan sepanjang perjalanan hingga keduanya kini benar-benar sudah tiba
di rumah Ha Na.
“Terima
kasih sudah mengantarku. Kau akan pergi sekarang ‘kan?” kata Ha Na, kemudian ia turun dari mobil. Min Ho menyusul
langkah Ha Na, menggenggam lengan Ha Na lalu memeluk gadis itu lagi.
“Ha
Na, jangan diam saja kalau ada yang menganggumu!”
Ha
Na mengangguk.
“Ha
Na, bertemanlah dengan semua orang yang
baik padamu!”
Ha
Na mengangguk.
“Ha
Na, jadilah wanita yang bisa membanggakan ibumu!”
Ha
Na mengangguk.
“Ha
Na, meski aku memintamu untuk terus mencintaiku tapi menikahlah dengan pria
yang baik. Pria itu harus bisa melindungimu.”
“Kau
brengsek, Lee Min Ho!” tapi Ha Na tetap mengangguk.
“Ha
Na, kau harus bahagia!”
Ha
Na menggeleng.
“Pertemuan
kita sampai sekarang adalah waktu yang sangat singkat, tapi bagiku itu bukan
halangan untuk mempunyai perasaan padamu. Jangan anggap aku anak kecil yang
bisa tersenyum beberapa detik kemudian setelah menangis karena terjatuh!”
“Ada
banyak masalah yang mengikutiku, aku tidak ingin kau terlibat dengan masalahku.
Ada banyak kegelapan di dalam diriku, aku ingin menyelesaikan dulu semuanya.
Dan itu membutuhkan waktu yang lama. Jadi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa
padamu. Masa depanmu, aku tidak ingin mengorbankannya, Yoon Ha Na.”
“Jadi
kita benar-benar akan berpisah?”
Min
Ho mengangguk.
“Tidak
ada hubungan apapun?”
Min
Ho mengangguk.
“Meski
kita saling mencintai?”
Min
Ho mengangguk.
“Kau
pria brengsek, Lee Min Ho!”
Seperti
bangun dari tidur panjang yang dipenuhi mimpi buruk
Tetes
air mata ini ternyata benar-benar nyata. Menurutku, iblis pun berhak mencintai
seseorang? Lalu, kenapa kau tidak?
−Yoon
Ha Na−
Tidak
berhak seseorang menerima banyak cinta jika di dalam hatinya terdapat banyak
kegelapan yang bahkan melebihi kegelapan iblis.
−Lee
Min Ho−
THE END
